Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) belum melihat substansi keberhasilan BPJS Kesehatan terutama dari sektor sistem operasionalnya.
Prof.DR.dr Ilham Oetama Marsis Ketua Umum PB IDI mengungkapkan, hal itu terlihat dari masih adanya klaim-klaim jasa medik rumah sakit yang sampai enam bulan belum dibayar BPJS.
Maka dari itu, PB IDI mendorong supaya ada perbaikan total dalam sistem operasional BPJS, sehingga tidak sampai berdampak pada berkurangnya mutu pelayanan medis.
Kata Profesor Ilham, dukungan BPJS Kesehatan dalam Program Kartu Indonesia Sehat (KIS) selama ini, baru sebatas pencitraan yaitu menambah jumlah peserta.
“Yang dilakukan BPJS untuk capai sasaran sepengamatan kami hanya dalam bentuk pencitraan yaitu menambah cakupan peserta. Keberhasilan BPJS belum terlihat, terutama pada sistem operasionalnya,” ujarnya dalam keterangan pers yang digelar di Kantor Pusat PB IDI, Jakarta Pusat, Kamis (2/8/2018).
Di sisi lain, PB IDI juga menyayangkan terbitnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2, 3 dan 5 Tahun 2018, yang mulai berlaku 21 Juli 2018.
Dalam peraturan tersebut, bayi baru lahir dengan kondisi sehat pascaoperasi caesar atau normal dengan atau tanpa penyulit, dibayar dalam satu paket persalinan.
Kemudian, penderita penyakit katarak dijamin BPJS Kesehatan kalau visus kurang dari 6/18. Tapi, jumlah pasien operasi katarak dibatasi dengan kuota.
Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan itu juga membatasi tindakan rehabilitasi medis, dua kali per minggu, atau delapan kali dalam satu bulan.
Menurut PB IDI, peraturan tersebut berdampak signifikan menurunkan mutu pelayanan kesehatan, sekaligus merugikan masyarakat.
Maka dari itu, PB IDI meminta BPJS Kesehatan membatalkan peraturan itu, kemudian merevisi sesuai kewenangannya yaitu membahas teknis pembayaran, dan tidak masuk ranah medis. (rid/tin)