Narapidana perkara terorisme pindahan dari Rumah Tahanan Mako Brimob Depok, Jawa Barat, telah menempati tiga Lembaga Pemasyarakatan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
“Tahanan dan Napi teroris dari Mako Brimob saat ini sudah dipindahkan ke tiga lapas di Nusakambangan, yaitu Lapas Pasir, Lapas Batu dan Lapas Besi,” kata Ade Kusmanto Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kepada Antara di Jakarta, Jumat (11/5/2018).
Ade menjelaskan, narapidana-narapidana kasus terorisme dari Rutan Mako Brimob itu memang sudah masuk daftar untuk dipindahkan.
“Masih mempertimbangkan hasil assessment risiko dan kebutuhan, mana yang harus ditempatkan di Lapas high risk dan siapa saja yang bisa ditempatkan di lapas-lapas lainnya,” kata Ade seperti yang dilansir Antara.
“Namun sebelum pelaksanaan pemindahan, mereka ternyata sudah berbuat kerusuhan di Mako Brimob,” ia menambahkan.
Ade mengungkapkan bahwa narapidana kasus terorisme tidak hanya menempati Rutan Mako Brimob Depok, tetapi tersebar di 108 Lapas dan satu Rutan dan jumlahnya 270 orang.
“Ternyata selama di dalam Lapas, mereka yang merupakan tokoh atau otak teroris selalu mempengaruhi beberapa napi umum untuk bergabung dengan kelompoknya atau mengendalikan, membuat permufakatan sesama napi teroris tanpa sepengetahuan petugas. Hal ini berbahaya karena bisa menyebarkan faham radikal,” jelasnya.
Guna mencegah penyebaraan faham radikal di dalam Lapas, pemerintah membangun lembaga pemasyarakatan khusus untuk narapidana kasus terorisme yang masuk kategori berisiko tinggi di Nusakambangan.
“Ini biasanya berlaku untuk para tokohnya. Tapi ada juga yang sudah kembali ke NKRI, seperti Umar Patek di Lapas porong Jatim. Sudah mau mengibarkan Bendera Merah Putih, serta aktif dalam pembinaan kepribadian dan kemandirian di dalam Lapas Porong,” ungkapnya.
Sedangkan untuk napi yang masih garis keras, diadakan pendekatan dengan BNPT, tokoh agama, dan tokoh masyarakat dari mantan kelompok mereka.
Ade menambahkan, mayoritas narapidana perkara terorisme yang masih kuat fahamnya cenderung mengasingkan diri, menutup diri, dan tidak mau menyatu dengan narapidana lainnya.
“Beribadah pun mereka tidak mau bergabung dengan orang lain yang bukan kelompoknya. Mereka menganggap orang lain (menyembah) thogut (sembahan selain Allah SWT), sehingga memberikan pembinaan kepada kelompok radikal tidak mudah, butuh waktu untuk melunakkannya, tidak sehari atau sebulan bahkan setahun, hati dan pikiran mereka tertutup untuk kelompok lain,” jelas Ade.
Ia menjelaskan pula bahwa Lapas bekerjasama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam memberikan pembinaan bagi narapidana kasus terorisme.
“BNPT memegang kendali dalam pencegahan, pembinaan selama di dalam lapas serta pembimbingan setelah bebas. Ditjen PAS memfasilitasi BNPT, biasanya BNPT datang Lapas beserta para ustaz mantan teroris yang sudah kembali ke NKRI,” katanya. (ant/tna/dwi)