Negeri Tirai Bambu, China, bermetamorfosis menjadi Naga Asia. Dan perkembangannya yang pesat, memicu program International Business Management, Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (IBM FB UKWMS) gelar seminar bisnis.
Dengan tema: Dampak Pertumbuhan Ekonomi China Terhadap Indonesia, seminar bisnis kali ini menghadirkan nara sumber Adi Harsono pelaku bisnis dan aktif di Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin) Jakarta.
Adi menyampaikan ada empat hal yang mengubah teknologi dunia yakni papirus semacam kertas, kompas, bahan peledak dan mesin cetak. China memiliki dua infrastruktur super, pertama jaringan sungai buatan sepanjang 1700 km yang merupakan proyek konsisten dan lintas dinasti.
Sungai ini digunakan untuk transportasi, namun seiring berkembangnya zaman menjadi tidak berfungsi dan menyempit. Hingga pemerintah China mulai membenahi, memperdalam hingga menanami dengan pohon.
Banyaknya kapal berbahan bakar bensin yang terus menerus melintas, menjadi polusi hingga pemerintah memberlakukan pemberian insentif kepada pemilik kapal yang mau mengganti mesinnya dan beralih pakai gas.
Memasuki abad 21, beragam inovasi teknologi diciptakan oleh China. Program ini dinamakan Made in China 2025, dengan beragam inovasi mulai dari peluru kendali antar benua hingga infrastruktur.
“China juga membuat drone militer yang bisa membawa peluru kendali antar benua dan Indonesia sudah membeli empat unit. Kenapa China Maju? Karena mereka berani riset dan pengembangan,” terang Adi.
Bahkan secara ekonomi, China menargetkan pada tahun 2020 prosentase kemiskinan menjadi nol persen. Pada tahun 2017, China mencatat prosentase kemiskinan sebesar 3,5 persen.
Seiring perkembangan ekonomi China yang mengesankan, peranannya terhadap perekonomian Indonesia menjadi semakin penting. Ini tercermin dari data Kementerian Perdagangan yang mencatat bahwa perdagangan Indonesia dengan China sepanjang 2017 mencapai US$ 58,82 miliar.
Kerjasama strategis lain yang sedang dibangun antara pemerintah Indonesia dan China adalah proyek pembangunan infrastruktur global yang dikenal sebagai One Belt One Road (Obor).
Melalui proyek Obor, sejak tahun 2016 China mengambil inisiatif menghidupkan kembali jalur perdagangan internasional klasik, Jalur Sutra, melalui dua sumbu utama Silk Road Economic Belt (Jalur Sutra Darat) dan 21st Century Maritime Silk Road (Jalur Sutra Laut).
Belt and Road Initiative (BRI) yang dibangun ini mencakup 68 negara, dimana melalui jalur ini durasi pengiriman barang menjadi lebih singkat. Sebagai contoh, kereta barang dari Kota Yiwu RRT menuju London, ditempuh dalam waktu 19 hari.
“Saya sampaikan kepada Apindo, akan bagus kalau kita bergabung dengan silk road ini. Karena pengiriman barang ke Negara lain tidak sampai berbulan-bulan lamanya,” tambah Adi.
Untuk mengembangkan jalur tersebut, tentu dibutuhkan dana. Sehingga dibangun Asian Infrastructure and Investment Bank (AIIB) di Beijing. Bank ini yang kemudian berfokus pada infrastruktur dan investasi. Indonesia sendiri juga memiliki keunggulan.
“Secara politik, kita bisa menjadi kekuatan pengimbang, dari segi ekonomi kita bisa menjadi global chain production karena Indonesia sangat kaya, dan secara strategi kita bisa menjadi daya tarik dari kekuatan utama dunia,” papar Adi.
Adi menambahkan bahwa musuh terbesar yaitu kemiskinan, ketidakadilan pembangunan. “Siapapun pemimpinnya akan menghadapi permasalahan yang sama. Tujuan kita bersama adalah pengentasan kemiskinan,” pungkas Adi Harsono.
Seminar Dampak Pertumbuhan Ekonomi China Terhadap Indonesia kali ini dimoderatori Dr. Wahyudi Wibowo, S.T.MM., yang juga koordinator International Business Management, Fakultas Bisnis Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (IBM FB UKWMS).(tok/rst)