Sejumlah siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri (SDN) Perak Barat, Surabaya, Jumat (9/11/2018) pagi itu tidak berseragam pramuka atau batik. Mereka mengenakan seragam loreng dominan hijau, khas militer. Sebagian dari mereka terlihat mengenakan ikat kepala merah-putih. Hari itu, mereka belajar dalam sebuah semangat perjuangan, karena keesokan harinya, Sabtu, 10 November 2018, adalah Hari Pahlawan.
Mata pelajaran yang mereka ikuti kali itu pun berbeda. Bukan pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, atau mata pelajaran biasa lainnya. Guru yang mengajar juga bukan guru-guru kelas yang biasa mengajar mereka setiap harinya. Laki-laki dan perempuan, yang mereka sebut kakak-kakak, berseragam kemeja putih lengan panjang itu bahkan sehari-harinya bukan seorang pengajar.
Ya, guru-guru itu adalah para karyawan muda PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III. Mereka datang ke SDN Perak Barat bukan untuk mengajarkan mata pelajaran biasa, tapi untuk mengenalkan dunia maritim kepada siswa-siswi SDN Perak Barat Surabaya, dalam sebuah aksi sosial bertajuk BUMN Mengajar: Millennials Go To School, sebuah program edukatif dari Kementerian BUMN.
Proses belajar siswa SDN Perak Barat dengan para Milenials Pelindo III. Foto: Istimewa
Milenials Pelindo III itu membawa beragam gambar dan foto-foto besar seputar kegiatan pelabuhan, tranportasi laut, juga peta-peta jalur perairan. Mereka menjelaskan kepada para siswa dengan cara mereka sendiri. Aneka jenis kapal, alat berat crane, hingga profesi-profesi seputar bidang maritim dikenalkan dalam kegiatan Jumat pagi itu.
Para milenials ini meyakinkan para pelajar SDN Perak Barat, bahwa Indonesia memang negara maritim terbesar di dunia. Dari lima negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia adalah yang paling luas dengan 1,9 juta kilometer persegi wilayahnya. Sementara, sebanyak 66 persen dari total luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini adalah perairan.
Soekarno Presiden Pertama Indonesia sebagai founding father, puluhan tahun silam mengingatkan, bangsa Indonesia agar kembali menjadi bangsa pelaut. Bangsa pelaut yang tidak sekadar jongos-jongos kapal, “tetapi bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.”
Bung Karno juga pernah menyerukan hal yang sangat penting soal kekuatan maritim bangsa ini dalam National Maritime Convention (NMC) yang berlangsung pada 1963 silam. Agar Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negar damai, Presiden Pertama RI itu menegaskan, bangsa ini bisa menjadi kuat hanya ketika bangsa ini bisa menguasai lautan.
“To control the ocean, we must control sufficient fleet (untuk menguasai lautan, kita harus memiliki/menguasai armada yang cukup).”
Tri Achmadi Pakar Transportasi Laut dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan, dengan kondisi wilayah yang dominan perairan dan puluhan ribu pulau hingga pulau-pulau terdepan, sampai saat ini Indonesia ternyata tidak bisa membuktikan pemerataan pembangunan dan ekonomi. “Ternyata tidak mudah meratakan hasil pembangunan ke seluruh wilayah,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.
Faktanya, berdasarkan riset yang dia lakukan, 81,24 persen sumbangsih perekonomian Indonesia dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 2015 berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera, yang berada di bagian barat Indonesia. Kedua pulau ini menjadi penopang perekonomian nasional. Sedangkan di wilayah Indonesia Timur, seperti Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua dan Maluku, sumbangsihnya hanya 18,76 persen.
Kalau perekonomian ini diukur dari volume pergerakan petikemas, maka 61 persen pergerakan petikemas ini ada di seputar Jakarta, Surabaya, dan Medan. Sisanya, 49 persen pergerakan petikemas dibagi di kawasan Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua, dan Maluku. “Jadi, dari data-data ini, pemerataan ekonomi sangat penting dilakukan. Kalau tidak, saudara-saudara kita di pulau-pulau terdepan tidak akan merasakan hasil pembangunan dan peningkatan ekonomi,” katanya.
Program Tol Laut yang diinisiasi sejak 2015 lalu menurut Achmadi sudah berada di arah yang benar. Keberadaan program tol laut ini setidaknya telah berhasil memotong mata rantai distribusi komoditas ke kawasan pulau-pulau terdepan sehingga terjadi penurunan harga komoditas dan mengurangi tingkat disparitas harga komoditas ini antara wilayah Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur.
Pada 2016 lalu, tercatat harga bahan-bahan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, dan semen hingga Agustus mengalami penurunan di kawasan pulau terdepan seperti Kaimana, Merauke, dan Biak yang ada di wilayah Papua. Misalnya untuk komoditas gula, pada Agustus 2016 lalu harga gula di Pulau Biak dengan harga gula di Kota Surabaya hanya selisih Rp54 rupiah saja.
“Sudah ada hasilnya. Jadi Tol Laut ini sudah memberikan hasil dari kendala utama konektivitas perhubungan atau transportasi laut yang membuat harga-harga di pulau-pulau terdepan lumayan tinggi dan sangat memberatkan saudara kita yang tinggal di sana. Tujuan Tol Laut memang untuk mengurangi disparitas harga dan pemerataan ekonomi ini,” katanya.
Dia menjelaskan, perbedaan jalur Tol Laut dengan jalur pelayaran yang sudah ada adalah pelayaran langsung dari pelabuhan di Jawa Timur sampai ke tujuan akhir di pulau-pulau terdepan Indonesia dengan kapal yang sama. “Program sebelumnya kapal-kapal ini hanya sampai di pelabuhan yang ada di kota-kota besar di Indonesia Timur, lalu dioper dengan kapal lain, baru sampai ke pulau terdepan sehingga biaya logistik menjadi mahal, dan harga komoditasnya turut menjadi mahal. Itu yang terjadi selama ini,” ujarnya.
Peran pelabuhan-pelabuhan di Jawa Timur, khususnya di Surabaya dan sekitarnya, untuk wilayah Indonesia bagian timur, menurut Achmadi, sangat luar biasa. Pelabuhan di Surabaya menjadi basis atau titik asal pengiriman kebutuhan pokok maupun barang-barang penting untuk industri ke pulau-pulau terdepan misalnya di Papua. Karena itulah, semakin kemari, tantangan Surabaya (kalau boleh dibilang) sebagai Kota Pahlawan Maritim bagi Indonesia Timur semakin besar.
Ada tiga tantangan penting yang harus dijawab pelabuhan-pelabuhan di Surabaya dan sekitarnya di Provinsi Jawa Timur. Pertama soal kesiapan pelabuhan. Pada perkembangannya, jalur Tol Laut sejak diresmikan pada 2015 lalu yang hanya 6 trayek saja kini sudah menjadi 15 trayek. Menurut Achmadi, ini menjadi tantangan bagi pelabuhan-pelabuhan pendukung tol laut lainnya, termasuk pelabuhan Tanjung Perak yang dikelola Pelindo III sebagai pelabuhan asal.
“Saya kira, kesiapan pelabuhan di Surabaya sudah mengarah ke sana. Tinggal kesiapan pelabuhan lain yang perlu dioptimalkan, perlu diintegrasikan dengan armada pelayanan nasional yang sudah ada, pelayaran rakyat, maupun pelayaran perintis, supaya efisiensi penggunaan APBN untuk subsidi bisa lebih tinggi,” ujarnya.
Fasilitas pelabuhan, sarana dan prasarana bongkar muat petikemas maupun komoditas dari pelabuhan asal di Jawa Timur, kata dia, tetap harus dioptimalkan serta ada prioritas untuk kapal-kapal yang ditunjuk melayani Tol Laut dibandingkan dengan kapal pelayaran lainnya.
Kedua, rute kapal Tol Laut harus ditambah supaya penetrasi pengurangan disparitas harga komoditas di luar Jawa dapat semakin efektif dan dirasakan hasilnya oleh masyarakat di pulau-pulau terdepan. Lalu, tantangan ketiga adalah mendorong agar industri galangan kapal tidak hanya terkonsentrasi di Indonesia bagian barat, supaya kebutuhan pemeliharaan kapal-kapal Tol Laut dapat diatasi.
“Selama ini, konsentrasinya, kalau menurut perhitungan kami, sekitar 80 persen ada di Indonesia bagian barat. Nah kita tahu, kapal seperti kendaraan lainnya, butuh bengkel. Ini tantangan yang harus dijawab supaya hasil program Tol Laut ini semakin maksimal,” ujarnya.
Kesiapan Pelabuhan
PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pengelola sejumlah pelabuhan termasuk Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya terus berbenah. R Suryo Khasabu Vice President Corporate Communication Pelindo III mengatakan, penambahan kapasitas dan fasilitas pelabuhan terus dilakukan.
“Untuk mendukung program pemerintah dalam mengefisienkan biaya logistik di Indonesia dengan program Tol Laut, kami menyiapkan Terminal Jamrud Selatan di Pelabuhan Tanjung Perak yang memiliki panjang dermaga kurang lebih 400 meter sebagai base dari kapal Tol Laut untuk melayani rute Indonesia timur,” ujarnya.
Saat ini sudah ada tiga kapal Tol Laut yang beroperasi di Pelabuhan Jamrud. “Dari 15 rute Tol Laut yang ada, 10 rute dilayani oleh Pelabuhan Tanjung Perak. Ini menunjukkan, Pelabuhan Tanjung Perak merupakan kunci atau jantung dari pendistribusian logistik khususnya ke wilayah Indonesia timur,” ujarnya.
Pelindo III, kata Suryo, telah melakukan berbagai peningkatan kapasitas dan pengembangan fasilitas, di antaranya penambahan alat bongkar muat maupun penambahan fasilitas dermaga. Terminal Jamrud Selatan, misalnya, sudah dilengkapi 8 unit Harbour Mobile Crane (HMC) baru yang diharapkan bisa mempercepat waktu bongkar muat petikemas. Sedangkan sebelumnya, Pelindo III telah melakukan pengerukan alur laut dari kedalaman 8,5 meter menjadi 13 meter sehingga mampu menampung kapal berbobot mati 20 ribu-50 ribu deadweight tonnage (DWT).
Aktivitas bongkar muat di Terminal Petikemas Surabaya (TPS). Foto: Istimewa
Inovasi lain yang dilakukan Pelindo III adalah pelayanan kepelabuhanan yang terintegrasi dalam sebuah aplikasi Home Terminal Service (HTS) yang dilaunching pada 2017 lalu. Menurut Suryo, aplikasi berbasis Android ini memungkinkan perusahan pelayaran melakukan permohonan pelayanan jasa kepelabuhanan tanpa harus datang ke kantor cabang pelabuhan.
“Melalui aplikasi ini, para pengguna jasa Pelindo III dapat melakukan request jasa Pandu, jasa kapal, jasa bongkar muat, dan jasa lainnya melalui ini. Di aplikasi itu kami juga menampilkan harga yang harus dibayarkan para pengguna jasa kami sehingga prinsip transparansi bisa kami penuhi, untuk menghindari adanya pungutan-pungutan liar,” katanya.
Dengan berbagai peningkatan kapasitas dan fasilitas pelayanan itu, kinerja operasional Pelindo III semakin meningkat. Suryo mengatakan, hingga triwulan ketiga 2018 arus barang atau general cargo di Pelindo III tumbuh sekitar 9 dari 2017. Kalau 2017 lalu arus general cargo di Pelindo III sebesar 14,2 juta ton, pada triwulan ketiga 2018 ini sudah mencapai 15,5 juta ton
“Sedangkan untuk peti kemas, kami mencatat pertumbuhan sebesar 10 persen di triwulan ketiga 2018. Pada 2017 lalu hingga triwulan ketiga ada 1,5 juta teus, di periode yang sama 2018 arus peti kemas mencapai 1,7 juta teus,” ujarnya.
Menjawab Tantangan Pahlawan Maritim
Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyiapkan pelabuhan di wilayahnya untuk mendukung Tol Laut. Salah satu yang akan segera beroperasi dan sudah melakukan uji coba adalah Pelabuhan Probolinggo.
Kapal Logistik Nusantara 1 dengan berat 7.738 Grosstone (GT) sandar pertama kalinya di Pelabuhan Probolinggo, Rabu (14/11/2018), kemarin, setelah sebelumnya sandar di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Standarnya kapal peti kemas itu menjadi uji coba pertama kali bagi pelabuhan di Jawa Timur itu sebelum benar-benar dibuka sebagai pelabuhan yang melayani Tol Laut.
Pemprov Jatim bersama pemerintah pusat saat ini juga menyiapkan konektivitas pelabuhan yang lebih efisien antara Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dan Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, untuk menuju ke kawasan Indonesia Timur secara langsung dengan kapal roll on roll of (roro). Kapal Roro itu akan melayani pengangkutan truk barang melalui jalur laut, yang mana selama ini untuk menuju ke Indonesia Timur harus berpindah ke dua sampai tiga pelabuhan.
Menurut Soekarwo Gubernur Jawa Timur, rencana ini sudah pada tahap finalisasi di Pelabuhan Panarukan. “Nanti dari Surabaya langsung ke Panarukan, dari Panarukan langsung ke Jelambar, lalu ke Kupang. Tidak perlu melewati Bali, karena lebih mahal. Ini sudah tahap finalisasi di Panarukan,” ujarnya kepada suarasurabaya.net beberapa waktu lalu.
Sementara, Pemkot Surabaya saat ini juga sedang menggenjot pembangunan infrastruktur untuk mendukung kelancaran jalur logisitik di dalam kota. Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya mengatakan, Jalan Lingkar Luar Timur (JLLT) dan Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB) yang sedang dalam proses pembangunan akan didedikasikan untuk kelancaran logisitik ini.
“Kalau pelabuhan di Surabaya saat ini sudah mampu menampung mother ship atau kapal-kapal induk yang besar. Tapi tanpa dukungan aksesibilitas di dalam kota, logisitik ini tidak akan jalan. Makanya jalan lingkar luar itu saya jaga betul (pembangunannya), supaya bisa mendukung program Tol Laut ini,” katanya.
Risma mengatakan, setelah beberapa kali berkunjung ke New York, Amerika Serikat, dia mengatakan bahwa konsep logistik dengan banyak pergudangan akan dia evaluasi kembali. Menurutnya, meski di New York itu jalur logisitik tampak sedikit messy kacau, tapi truk trailer di sana bisa langsung masuk ke gudang-gudang tujuan paling kecil. Ini yang sedang dia pikirkan dan akan coba dia terapkan di Surabaya.
“Jujur saja, saya banyak belajar dari New York. Makanya kalau soal gudang, sebenarnya di Surabaya ini sudah siap. Tidak ada masalah. Di pelabuhan sudah ada, nanti di jalan lingkar luar itu juga akan ada. Jadi sudah tidak ada masalah,” katanya.
Semua upaya ini, baik oleh Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jatim untuk mendukung Tol Laut, menurut Tri Achmadi Pakar Transportasi Laut ITS, sebenarnya tidak membawa imbal balik atau manfaat yang sepadan bagi pemerintah provinsi, pemkot, maupun masyarakat Surabaya pada umumnya. Karena di Surabaya dan Jawa Timur, harga komoditas sudah cukup murah dan mudah didapatkan oleh masyarakatnya.
“Karena inilah tujuan Tol Laut itu, agar aktivitas ekonomi dan industri tidak hanya bergerak di bagian barat Indonesia saja, tapi juga merata hingga ke pulau-pulau terdepan di Indonesia Timur. Ya, bisa dikatakan seperti itu: kalau pemerataan pembangunan dan ekonomi itu benar-benar terwujud, Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya sekali lagi menjadi pahlawan maritim,” katanya.
Inilah yang harus dikenalkan kepada generasi muda di Surabaya. Surabaya memiliki potensi yang kuat sebagai pusat kegiatan maritim bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Potensi Surabaya menjadi poros maritim Indonesia ini perlu diketahui oleh generasi muda Surabaya. Sehingga sejak dini mereka sudah diajak berkarya untuk negara, terutama di bidang maritim, seperti pesan Bung Karno.
Pengenalan potensi maritim Indonesia dalam kegiatan BUMN mengajar: Millenials Go to School Pelindo III, kepada para pelajar generasi Z, dinilai dapat menjadi simbol peneladanan heroisme para pahlawan yang sudah berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Karena kalau bukan mereka, generasi muda Surabaya, siapa yang akan menjadi pahlawan-pahlawan di masa yang akan datang? (den)