
Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta (PJT) I sebagai pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas mendata, pada 2005 lalu, setidaknya ada kurang lebih 200 titik sumber mata air di kawasan konservasi Arboretum Sumber Brantas, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Sayangnya jumlah dan debit mata air itu terus berkurang.
Di kawasan konservasi yang berjarak 18 kilometer di sebelah utara Kota Batu, di lereng bukit sebelah timur Gunung Anjasmara itulah “Titik Nol” Sungai Brantas berada. Ada sebanyak 3.200 pohon dari 37 jenis berbeda hidup di sekitar mata air sumber Brantas itu. Beberapa jenis pohon di antaranya termasuk dilindungi.
Ada Kayu Manis, Cempaka, Damar, Pohon Kenanga, Sikat Botol (Kalistemon), Kayu Putih (Malalenca Kajuputi), Pinus Parana, sampai Pohon Kukrup (Engelhardia Spicata). Karena inilah kawasan seluas 12 hektar itu disebut arboretum. Di Kamus Bahasa Indonesia arboretum berarti tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk penelitian atau pendidikan.
Sumber mata air yang disebut Titik Nol Sungai Brantas di Arboretum Bumiaji, Kota Batu. Foto: Kompasiana
Tak sedikit pengunjung Arboretum Sumber Brantas yang memang bertujuan melakukan penelitian tentang berbagai jenis pohon yang ada, terutama untuk jenis yang langka. Tapi tidak jarang pula pengunjung hanya sekadar menikmati pemandangan dan udara sejuk di lokasi berketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut itu, yang rata-rata suhunya antara 10 hingga 20 derajat celsius.
Sayangnya, jumlah sumber mata air sebanyak 200 titik pada 2005 silam setiap tahunnya terus berkurang. Pada 2011 lalu, sumber mata air di kawasan hulu Brantas hanya tersisa 150 titik dengan debit yang semakin mengecil. Sedangkan 50 titik sisanya dinyatakan telah mati atau hilang.
Papan pemberitahuan di kawasan Arboretum Sumber Brantas. Foto: Dok/Pram suarasurabaya.net
Sementara, pada 2016 lalu, Soekarwo Gubernur Jawa Timur sempat merilis data bahwa jumlah mata air di Arboretum Sumber Brantas terus berkurang, dari 102 sumber air pada 2015 menjadi hanya 57 sumber air pada 2016 lalu. Afrizal penggiat LSM Konsorsium Lingkungan Hidup (KLH) Surabaya mengatakan, sisanya sudah mati atau malah hilang.
“Kami sempat melakukan observasi di Bumiaji. Sisa mata air yang disebutkan Pakde Karwo itu memang ada. Tapi debitnya sangat kecil. Hanya sumber brantas saja yang masih bertahan, itu pun debitnya sudah tidak terlalu besar,” katanya kepada suarasurabaya.net, Rabu (21/3/2018).
Hilangnya sejumlah besar sumber mata air di kawasan konservasi Arboretum Sumber Brantas itu bisa karena perubahan cuaca yang ekstrem, tapi lebih banyak akibat ulah atau perilaku masyarakat di sekitar kawasan tersebut, juga semakin berkurangnya tutupan lahan di sekitar kawasan itu, sehingga menyebabkan air hujan tidak terserap sistem perakaran pohon.
Sumber air Titik Nol Brantas itu berada di tengah-tengah lahan konservasi. Debit airnya kurang lebih 2,5 liter perdetik. Kelebihan air dari Sumber Brantas itu adalah kejernihannya. Air itu bisa diminum langsung dari sumbernya. Namun, pada perjalanannya, air dari Arboretum itu harus diolah kembali supaya bisa diminum.
Air dari sumber itu mengalir di sepanjang DAS Brantas seluas 13.880 kilometer persegi melintasi 17 kabupaten/kota di Jawa Timur. Melewati Kota Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, lalu Mojokerto. Di Mojokerto, Brantas membelah diri. Satu cabang ke Surabaya menjadi Kali Surabaya, cabang lainnya menjadi Kali Porong, Sidoarjo. Hingga akhirnya mereka (air) bersatu lagi di Selat Madura dalam kondisi penuh sampah.
Kondisi sumber air di Arboretum Sumber Brantas, Bumiaji, Kota Batu yang semakin berkurang dan semakin menyedihkan itu sebenarnya menjadi tanggung jawab dari masyarakat yang ada di sekitarnya, termasuk masyarakat yang tidak ada di sekitar lahan konservasi itu tapi turut menikmati airnya.
Satrijo Wiweko Pemerhati Lingkungan dari Sahabat Lingkungan mengatakan, telah terjadi konflik berkaitan pemanfaatan air ini antara masyarakat desa dengan masyarakat kota. “Justru yang punya sumber air tidak dapat air, yang jauh malah bisa mengakses air. Ini karena ada pipanisasi,” katanya.
Karena itulah, kata pria yang biasa disapa Koko, keberlanjutan air di kawasan hulu seperti di Arboretum Sumber Brantas tidak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat yang tinggal di hulu sungai itu. Orang-orang hilir juga harus bertanggung jawab atas keberadaan sumber mata air.
“Seolah-olah orang hilir itu menerima air bersihnya tapi bagaimana kondisi hulunya, hutannya yang rusak dan segala macam, kadang mereka tidak peduli. Oh, itu kan hutannya bukan punya saya. Padahal mereka seharusnya juga membantu menghijaukan hutan yang menjadi sumber mata air itu,” ujarnya.(den/iss)