Di hari terakhir 2018 menjelang pergantian tahun 2019, Senin (31/12/2018), Tim Dokter Kembar Siam Pusat Pelayanan Kembar Siam Terpadu (PPKST) RSUD Dr Soetomo meluncurkan buku Tata Laksana Kembar Siam.
Buku yang menjadi catatan panjang 42 tahun penanganan bayi kembar siam di RSUD Dr Soetomo Surabaya sejak 1975-2017 ini diterbitkan Airlangga University Press pada akhir 2018 ini dalam format bilingual (Indonesia dan Inggris).
Buku ini memuat catatan sejarah penanganan kembar siam di RSUD Dr Soetomo serta standar prosedur tetap penanganan bayi kembar siam sejak awal penanganan sampai pendanaan, dan peran media massa.
Dokter Agus Harianto Sp.A (k), Ketua PPKST RSUD Dr Soetomo Surabaya mengatakan, buku ini bukan yang pertama diterbitkan. Ini adalah buku kedua setelah sebelumnya buku tentang penanganan kembar siam di RSUD dr Soetomo diterbitkan pada 2005 silam.
“Buku sebelumnya, penanganan bayi kembar siam di RSUD Dr Soetomo dari tahun 1975 sampai 2005,” ujarnya kepada suarasurabaya.net setelah peluncuran buku Tata Laksana Kembar Siam.
Buku ini diterbitkan karena kasus bayi kembar siam, menurutnya, selalu unik. Sehingga, selain dapat menjadi referensi di dunia kedokteran, kisah di balik penanganan bayi ini akan menarik untuk dibaca siapa saja.
Agus mengisahkan, keseriusan RSUD Dr Soetomo dalam menangani bayi kembar siam bermula dari kasus Dwipayanti dan Dwipayani, bayi kembar siam asal Mengwi, Denpasar, Bali, yang berhasil dipisahkan tim dokter RSUD Dr Soetomo pada 2005 silam.
Menjalani penanganan melibatkan 42 dokter spesialis selama hampir setahun, putri kembar dempet dada dan perut dari pasangan I Gusti Ayu Ketut Sriyani dan Gusti Eka Laya Kunta yang lahir 1 Mei 2004 itu berhasil dipisahkan pada 29 Januari 2005.
Sejak saat itulah, Tim Dokter Kembar Siam berkomitmen memberikan prioritas dan penanganan optimal terhadap bayi kembar siam yang dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah milik Pemprov Jatim itu.
“Kami tidak memungut biaya operasi kepada orang tua pasien, dan menanggung biaya rawat inap bagi pasien bayi kembar siam sampai sekarang,” kata Agus.
Padahal, biaya operasi pemisahan ini tidak murah. Pada 2005 silam, dalam kasus Dwipayani dan Dwipayanti, operasi pemisahan yang dimulai dari operasi tissue expander, memasukkan sebuah alat untuk pengembangan jaringan kulit, itu berbiaya Rp532 juta.
“Di Batam, baru-baru ini, biaya operasi pemisahan bayi kembar siam sudah mencapai Rp1 miliar lebih. Kami, Tim Dokter Kembar Siam Dr Soetomo tidak memungut sepeser pun biaya ini dari pasien, sampai sekarang,” katanya.
Sejak 1975 sampai 2017 lalu, tercatat ada sebanyak 85 kasus kembar siam yang ditangani Tim Dokter Kembar Siam RSUD Dr Soetomo. Tim PPKST di rumah sakit itu baru berdiri secara resmi pada 2009.
“Di buku ini juga dijelaskan klasifikasi kembar siam berdasarkan anatomi daj fisiologisnya, sehingga tidak semua kasus kembar siam harus dirujuk,” ujarnya.
Berdasarkan klasifikasi ini pula, sejak berdiri pada 2009 Tim Dokter PPKST telah melakukan 16 kali operasi di luar RSUD Dr Soetomo (visitasi). Terakhir kali visitasi ini ke Palembang pada 2013 silam.
Saat itu, sebanyak 22 orang tim dokter membawa peralatan ortopedi dan peralatan operasi lainnya bertolak ke RSUP Muhammad Saleh Palembang dan berhasil memisahkan bayi kembar siam sehingga keduanya dalam kondisi hidup.
“Gubernur Sumatera Selatan saat itu sampai kaget. Kami tidak menarik biaya operasi. Selalu ada saja yang membiayai. Saya tidak bermaksud pamer, ya, tapi semua Tim Dokter Kembar Siam berpegang teguh pada sumpah kami sebagai dokter,” katanya.
Jelas disebutkan di dalam sumpah setiap dokter, kata Agus, semua dokter harus melakukan penanganan terbaik dalam kasus kegawatdaruratan. Kasus kembar siam, kata dia, termasuk gawat darurat.
Sementara, dr Urip Murtejo Sp.B-KL salah satu tim penyusun buku sekaligus Ketua Forum Pers RSUD Dr Soetomo mengatakan, kasus kembar siam menjadi beban berat bagi orangtuanya.
Dokter yang menangani, kata dia, harus mampu menjalin komunikasi yang efektif dengan kedua orangtua bayi. “Mereka ini kadang seperti hampir putus asa, apalagi kalau sudah mikir biaya,” katanya.
Untuk pasien yang berasal dari luar Surabaya, seperti orangtua Dwipayani dan Dwipayanti yang berasal dari Denpasar, biaya yang mereka keluarkan selama mendampingi anak mereka pun tidak sedikit.
“Ibunya harus di dekat bayinya. Harus neteki (memberi ASI) supaya perkembangan kesehatannya bagus. Terus tidurnya di mana? Ya di kamar si Bayi. Kami bebaskan juga biaya rawat inapnya,” ujarnya.
Pemerintah dalam penanganan bayi kembar siam, juga berperan penting. Misalnya untuk mendukung dana operasi pemisahan bayi kembar siam. Sejauh ini, kata Urip, Pemprov Jatim sangat mendukung penanganan bayi kembar siam.
Tapi yang terpenting dari semuanya adalah ketulusan dokter yang ada di dalam tim. Dokter Agus dan dr Urip sepakat, komunikasi dengan orangtua pasien akan terbangun dengan baik, sehingga kondisi bayi juga semakin baik, hanya dengan ketulusan.
“Komunikasi efektif harus dengan tatap muka dan kontak mata, sehingga terbangun empati. Semua itu harus dengan ketulusan dan komunikasi seperti itu memang harus dengan hati,” ujar dr Agus Harianto.(den/iss/ipg)