Delapan orang delegasi asal negara Jepang dan Taiwan bertandang ke laboratorium Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) untuk mengenal
Rombongan terdiri dari dua orang mahasiswa serta satu dosen asal Osaka Institute of Technology (OIT) Jepang dan lima mahasiswa dari National Taiwan University of Science and Technology (NTUST).
Mereka hadir dalam rangka kerjasama antara UKWMS dengan NTUST dan OIT melaksanakan sistem pembelajaran Problem-Based Learning (PBL) bertema The Challenge of Preserving Batik as a Local Cultural Heritage in the Midst of Disruptive Digital Era.
Kerjasama yang diinisiasi oleh Fakultas Teknik ini turut melibatkan Fakultas Ilmu Komunikasi, Fakultas Teknologi Pertanian Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Farmasi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Bisnis serta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan serta Fakultas Filsafat di UKWMS.
Profesor Masahiro Muraoka yang berasal dari OIT menyatakan bahwa ia merasa sangat senang dapat berkunjung kembali ke UKWMS dalam rangka PBL.
“Tahun lalu saya dan mahasiswa belajar banyak tentang durian, dan saya yakin bisa belajar lebih banyak lagi tentang batik Indonesia kali ini,” ujar Masahiro Muraoka, yang didampingi Nohara Katayama dan Noe Tamaki selaku mahasiswa peserta.
Sedangkan delegasi dari NTUST adalah Liu Jia Hua, Su Chia Sheng, Lee Pei Ju, Wu Xin Ping dan Liao Tzu Yu, dan mereka rata-rata sedang menjalankan tahun kedua dan ketiga dalam masa perkuliahan mereka di Taiwan.
“Ini merupakan kali kedua PBL diadakan dan jika tahun lalu delegasi-delegasi ini kami ajak untuk mabuk durian, kali ini kami ingin mengenalkan betapa indah, mendalam dan bermanfaatnya kesenian batik Indonesia ini,” ujar Erlyn Erawan, Psy.D., Kepala Kantor Urusan Internasional UKWMS.
Lebih lanjut, Erlyn menambahkan bahwa UKWMS merasakan keprihatinan karena anak-anak zaman now yang lebih banyak menghabiskan waktu menggunakan gawai mereka. Digitalisasi memang perwujudan kemajuan peradaban manusia, namun di sisi lain generasi muda tetap perlu diajak untuk menghargai betapa kaya dan berharganya warisan budaya bangsa ini.
Oleh sebab itu, PBL juga diwujudkan dalam bentuk pemberian seminar singkat mengenai motif-motif batik khas kedaerahan, mulai dari filosofinya, hingga pemaparan tentang resiko kesehatan yang dihadapi oleh para pengrajin batik tulis.
Setiap seminar selalu dilanjutkan dengan ajang diskusi untuk mencari solusi bagi setiap permasalahan yang didapati dari proses industri Batik Indonesia.
Pada hari ketiga PBL, Kamis (8/2/2018) para tamu bergabung langsung dalam praktikum pemanfaatan pewarna alami dari bahan alam asli Indonesia seperti kayu secang, teh, kopi, daun suji, daun jati, kunyit, daun jambu, sabut kelapa dan bunga telang untuk membuat batik dengan teknik ikat celup di Fakultas Farmasi UKWMS.
“Kami ingin memperkenalkan salah satu faktor dalam Batik dan proses membatik yaitu pewarna alami dari kekayaan alam Indonesia yang menjadi ciri khas dan kelebihan Batik Indonesia,” tutur Dr. F.V. Lanny Hartanti, S.Si., M.Si., pemateri dan instruktur praktikum.
Pada praktikum bersama ini, peserta PBL sebanyak 27 orang dari tiga universitas dan tiga negara tersebut belajar mengenai pewarna alami, metode preparasi pembuatannya, serta kelebihan dan kekurangan pewarna alami dibanding perwarna sintetis.
Mempraktikkan pewarnaan kaos dengan pewarna alami menggunakan teknik ikat-celup atau tie-dyes, para mahasiswa ini dapat merasakan secara langsung pengalaman menjadi pengrajin batik Indonesia dalam versi sederhana.
Tujuan dari praktikum ini adalah memperkenalkan salah satu faktor dalam batik dan proses membatik yaitu pewarna alami dari kekayaan alam Indonesia yang menjadi ciri khas dan kelebihan Batik buatan Indonesia.
Batik Jumputan dibuat dengan melakukan tiga tahapan. Tahapan yang pertama adalah pembersihan materi pabrik pada kaos, kain dengan cara dicuci dan dikeringkan selama semalam.
Kemudian pada tahapan kedua bahan-bahan tanaman yang akan dijadikan bahan pewarna harus dihancurkan terlebih dahulu dan melalui proses ekstraksi dengan direbus dan disaring. Setelah melalui dua tahapan tersebut barulah kaos bisa diberikan warna sesuai dengan motif yang diinginkan.
Lee Pei Ju, peserta PBL dari Taiwan mengatakan bahwa dirinya tidak menyangka bahwa bahan pewarna alami yang digunakan untuk membuat batik ternyata juga bisa dipergunakan untuk membuat kosmetika seperti lipstik, blush on dan eye shadow.
“Menarik dan luar biasa, saya bersyukur bisa belajar membuat batik jumputan serta mengetahui makna di balik motif-motif yang ada pada kain batik Indonesia. yang saya pelajari hari ini,” kata Lulu saaan Lee Pei Ju.
Lulu menambahkan bahwa di Taiwan Utara juga ada kebudayaan membuat kain yang disebut Lan Ran, dan teknik pewarnaannya mirip dengan batik jumputan ala Indonesia. Tapi warna yang dipakai hanya biru. Tidak warna-warni seperti Batik Indonesia.
Melalui ajang PBL ini, UKWMS berharap tidak hanya dapat berbagi ilmu dan pengalaman dengan rekanan dari Jepang maupun Taiwan, namun juga dengan masyarakat luas disekitar kampus atau masyarakat Surabaya pada khususnya.(tok/rst)