Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), menolak gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, hadir dalam sidang pembacaan putusan.
.
“Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Anwar Usman, Selasa (30/10/2018), di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
Turut hadir para Pemohon, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
Dalam pertimbangannya, hakim menilai pada masa yang akan datang, perlakuan terhadap tersangka oleh penegak hukum dapat berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya KUHAP.
Sehingga, apabila hal itu telah dilakukan secara konsisten maka tidak akan ada lagi permohonan praperadilan yang diajukan oleh seorang tersangka akibat adanya proses penanganan perkara yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik atau jaksa penuntut umum, yang tidak berpedoman kepada KUHAP.
Hal ini agar tidak akan ada lagi kekhawatiran bagi penyidik dan jaksa penuntut umum di dalam menangani perkara yang terhadapnya diajukan tuntutan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan, termasuk di dalamnya tuntutan praperadilan.
Sebelumnya, Asosiasi Advokat Muda Seluruh Indonesia (AAMSI) mengajukan gugatan uji materi ke MK, Selasa (24/7/2018).
Permohonan Pengujian disertai bukti pendukung sebanyak 12 rangkap diterima MK dengan Nomor Permohonan 1808.PAN.MK/VII/2018.
Pemohon meminta supaya KUHAP Pasal 82 ayat 1 huruf c dan d dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Dalam KUHAP Pasal 82 ayat 1 huruf c sudah tegas dinyatakan bahwa pra peradilan dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya.
Namun, dalam praktiknya, seringkali Permohonan Praperadilan digugurkan oleh Pengadilan karena tidak ada kepastian hukum. Penegak Hukum bermain-main dengan waktu. Oknum penegak hukum, menurut pemohon masih bermental kekuasaan, sehingga menetapkan seseorang sebagai tersangka atau melakukan penangkapan, penahanan dan tindakan hukum lainnya. Padahal tindakannya itu belum diuji keabsahannya. (rid/bas/ipg)