Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi sejumlah pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UU Terorisme).
Sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Manahan M.P. Sitompul, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams, masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Syukri Asy’ari sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon, Presiden atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
“Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Anwar Usman, Selasa (30/10/2018), di Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
Perkara yang teregistrasi Nomor 55/PUU-XVI/2018 ini dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak (Pemohon I) dan William Aditya Sarana (Pemohon II) yang merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Para pemohon menilai, Pasal 1 angka 1, Pasal 43A ayat (3) huruf b, Bagian Ketiga, Pasal 43C ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 43F huruf c, Pasal 43G huruf a (UU Terorisme) bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Sebab, pasal-pasal tersebut tidak memberi definisi radikal secara tegas.
Pada sidang perdana yang digelar Rabu (11/7/2018), William menyampaikan Pemohon I merupakan seorang Kristen Nasionalis yang sering membawakan firman Tuhan dalam beberapa persekutuan.
Dia menilai UU a quo mengekang kebebasannya untuk menjalankan imannya secara utuh karena tidak memberi definisi radikal dan tidak secara ekplisit menyatakan terorisme bertentangan dengan Pancasila.
Leonard menuturkan UU Terorisme telah melahirkan paradigma radikal sebagai sesuatu yang negatif. Sehubungan dengan terorisme karena di dalamnya terdapat tindakan antiradikalisme dan deradikalisasi, namun tidak diberikan definisi mengenai radikal itu sendiri.
Sedangkan Pemohon II selain berperan sebagai mahasiswa, juga merupakan calon anggota legislatif DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia, sehingga berkepentingan memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara. (rid/nin/ipg)