Sabtu, 23 November 2024

MK Mengabulkan Gugatan tentang Batasan Minimal Usia Perkawinan

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Ilustrasi. Foto: Dok. suarasurabaya.net

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diajukan kelompok masyarakat bernama Koalisi 18 Plus.

MK memutuskan batas usia minimal 16 tahun perkawinan bagi anak perempuan, dan 19 tahun untuk laki-laki, bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan UU Perlindungan Anak.

Menurut MK, usia 16 tahun masih masuk kategori anak-anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.

Selain itu, MK juga menilai perbedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan menimbulkan diskriminasi.

Putusan itu dibacakan majelis hakim yang dipimpin Anwar Usman, dalam sidang yang digelar siang hari ini, Kamis (14/12/2018), di Gedung MK, Jakarta Pusat.

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa usia 16 (enam belas) tahun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hakim Anwar di Ruang Sidang Utama.

Penentuan batas usia minimal perkawinan, menurut MK, merupakan kebijakan hukum legal policy pembentuk undang-undang yaitu Pemerintah dan DPR.

Kalau MK memutuskan batas minimal usia perkawinan, hal itu justru menutup ruang bagi pembentuk undang-undang di kemudian hari, untuk mempertimbangkan lebih fleksibel batas usia minimal perkawinan sesuai dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat.

MK menilai, hal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan UU Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak menyebutkan anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Jadi, siapa pun yang masih berusia di bawah 18 tahun, termasuk kategori anak-anak.

“Oleh karena itu, MK memberikan waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun
kepada pembentuk undang-undang untuk sesegera mungkin melakukan perubahan kebijakan hukum terkait batas minimal usia perkawinan, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974,” paparnya.

Sebelum dilakukan perubahan dimaksud, ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU 1/1974, kata Hakim Konstitusi, masih tetap berlaku.

Sebelumnya, Koalisi 18 Plus yang merasa dirugikan dengan perbedaan batas usia minimal perkawinan laki-laki dan perempuan mengajukan judicial review.

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan mengatur batas minimal usia perkawinan laki-laki adalah 19 tahun sementara perempuan adalah 16 tahun.

Aturan itu menimbulkan perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, yaitu memberikan rentang waktu yang lebih panjang kepada laki-laki sebagai anak ketimbang perempuan.

I Dewa Gede Palguna Hakim Konstitusi mengatakan, perkawinan anak berdampak negatif terutama pada aspek kesehatan. Selain itu, peluang terjadinya eksploitasi dan ancaman kekerasan juga lebih tinggi pada anak.

Sekadar diketahui, berdasarkan data Unicef, per tahun 2017, Indonesia ada di peringkat ketujuh angka perkawinan anak terbanyak di dunia, dan posisi ke-2 di Negara ASEAN berdasarkan data Council of Foreign Relation.

Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2016, 17 persen anak Indonesia sudah menikah. Provinsi dengan tingkat perkawinan anak paling tinggi antara lain Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. (rid/tin/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs