Lembaga Sensor Film Indonesia mengungkapkan, film nasional saat ini sudah mulai bervariasi dengan munculnya beragam film yang mengangkat kearifan lokal di Indonesia.
“Yang membanggakan film Indonesia sudah mulai banyak dan penonton Indonesia mulai meningkat. Film Indonesia beberapa waktu lalu sampai 3 ribu saja susah, sekarang 4 ribu lebih, bahkan Dilan itu 5 juta sekian,” kata Ahmad Yani Basuki Ketua LSF saat di Blitar, Jawa Timur, Kamis (19/4/2018).
Ahmad yang ditemui dalam acara forum koordinasi di bidang penyensoran di sebuah hotel Kota Blitar mengatakan, adanya sudah mulai bervariasinya film nasional atau film yang mengangkat budaya dan kearifan lokal ini terjadi selama dua tahun belakangan.
Ia mencontohkan, film nasional itu misalnya ‘Yowis Ben’ yang digarap Bayu Skak dimana film ini menggunakan dialog bahasa Jawa. Lalu film ‘Uang Panai’, film Indonesia yang dibuat di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yang menceritakan tentang uang belanja untuk pengantin mempelai wanita dan ini tradisi adat suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan. Film-film tersebut juga membawa kearifan lokal di masing-masing daerah, membawa marwah kebudayaan Indonesia banyak berkembang.
Kendati film itu dibuat dengan kearifan lokal di daerah, Ahmad menyebut masyarakat di daerah lain tentunya juga ingin menonton. Ia mencontohkan film ‘Yowis Ben’ dengan logat kental bahasa Jatim, bukan hanya masyarakat Jatim yang menontonnya, tapi juga di daerah lain tertarik.
Ia juga mengingatkan, dalam melihat film harus dipahami secara utuh dan tidak bisa sepotong-potong. Hal itu untuk memastikan bahwa film itu layak untuk ditonton oleh masyarakat luas ataupun harus ada klasifikasi umur.
“Film itu harus dipahami sebagai karya seni budaya. Bangsa Indonesia punya kearifan lokal untuk melihat film itu. Lebih dari itu, kami putuskan ada klasifikasi, semua umur tidak mungkin. Jadi, di LSF selain sensor juga mengajari ke masyarakat bisa memahami film secara proporsional,” ujar dia kepada Antara.
Ia juga optimistis film Indonesia ke depan akan semakin beragam dan bagus. Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika, sehingga ketika mengangakat film Indonesia juga serta merta mendorong lahirnya film yang bermuatan kearifan lokal budaya.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat agar ikut berperan aktif untuk melakukan sensor, yaitu dengan sensor mandiri. Hal itu juga berdasarkan aturan bahwa setiap karya seni budaya punya kewajiban untuk sensor film. Setelah diputuskan tanda lulus, produk tersebut bisa disiarkan.
Ahmad menambahkan, film merupakan sebuah karya seni budaya yang berkaidah sinematografi, dipertunjukkan ke publik dan punya nilai strategis bagi kehidupan. Film juga sebagai media sosial yang berfungsi untuk membentuk karakter bangsa, pendidikan dan akhlak mulia.
Untuk itu, pihaknya hadir untuk menjaga serta membentengi dari negatif film dan memajukan film nasional. Sensor dilakukan dengan meneliti judul, tema judul, adegan, ucapan, gambar dan sebagainya termasuk klasifikasi umur.
“Klasifikasi umur yang dilakukan LSF untuk membantu masyarakat memilah, agar masyarakat pilih sesuai dengan klasifikasi usia. Jika untuk anak usia meniru dampaknya luar biasa, bisa berpengaruh pada perkembangannya,” kata dia.
Sementara itu, pada 2017 terdapat sekitar 46 ribu berkas yang masuk dengan bermacam-macam kontennya, misalnya film, sinetron, karya sinematografi dalam bentuk lain misalnya ‘Talk Show, hingga penyewaan dan penjualan compact disc. Diharapkan, ke depan bisa lebih baik lagi.
Acara tersebut dihadiri berbagai pejabat dan tamu undangan lainnya dari berbagai instansi di Kota Blitar. Rencananya, setelah dari Blitar, kegiatan serupa akan diselenggarakan di beberapa daerah lainnya. (ant/tna/dwi)