Sabtu, 23 November 2024

Kisah Pak Tris Relawan Penjaga Palang Pintu di Perlintasan Pagesangan Surabaya

Laporan oleh Anggi Widya Permani
Bagikan
Sutrisno (63) akrab disapa Pak Tris salah satu relawan penjaga palang pintu di perlintasan kereta api Pagesangan, Surabaya. Foto: Anggi suarasurabaya.net

“Seneng iso nulung wong akeh (Senang bisa menolong orang banyak–Red),” ungkap Sutrisno.

Itulah motivasi Sutrisno (63) salah satu relawan penjaga palang pintu di perlintasan kereta api Pagesangan, Surabaya. Meski bukan pekerjaan yang mudah, pria paruh baya yang akrab disapa Pak Tris ini mengaku sudah menjadi petugas relawan selama 26 tahun.

Semua itu berawal dari kecelakaan maut yang terjadi pada tahun 1991. Saat itu, tidak ada satupun petugas yang menjaga di perlintasan kereta api Pagesangan. Akibatnya, terjadi kecelakaan yang melibatkan kereta api dengan satu mobil rombongan pengantin. Beberapa korban di antaranya meninggal dunia di lokasi.

“Dulu itu ada kecelakaan, korbannya mobil rombongan pengantin. Saya tidak tahu pasti berapa korbannya. Yang jelas ada yang meninggal dan ada yang patah kakinya,” kata Pak Tris saat ditemui suarasurabaya.net, Selasa (23/10/2018).

Pada tahun 1992, Pak Tris tergerak hatinya ingin membantu masyarakat menyeberang dan memberi arahan saat kereta api datang. Itu dilakoninya seorang diri dan secara suka rela. Di sela waktunya berjualan barang bekas, Pak Tris menyempatkan diri menjaga pos perlintasan yang tak jauh dari tempatnya bekerja.

Tidak sedikit, beberapa pengendara yang melintasi Pagesangan itu sering memberinya uang sebagai tanda terima kasih. Bahkan atas inisiatifnya itu, Pak Tris juga pernah menerima penghargaan Relawan Surabaya Tahun 2016, dari Bambang DH yang pernah menjabat Wali Kota Surabaya tahun 2002-2010.

“Awalnya dari kecelakaan itu. Saya kasihan, kalau tidak ada yang jaga bisa memakan korban lagi ini. Akhirnya saya mulai jaga lah di sana, karena dulu tidak palang pintunya. Habis kerja rombengan, saya jaga. Selama jaga saya sering dikasih uang sama pengendara yang lewat. Ya buat saya disyukuri saja kalau dikasih,” kata dia.

Lambat laun, relawan penjaga palang pintu mulai bertambah. Pak Tris mengatakan, bertambahnya relawan semakin memudahkannya dalam bertugas. Apalagi di usianya yang sudah tak lagi muda, volume kendaraan yang melintas juga semakin banyak. Bahkan dalam sehari, perlintasan Pagesangan ini dilewati oleh kereta api hampir 46 kali.

Sampai saat ini, sudah ada 7 orang yang bersedia menjadi relawan penjaga palang pintu di perlintasan kereta api Pagesangan. Mereka dibagi menjadi beberapa shift, yang siap berjaga di pos perlintasan selama 24 jam.

“Para relawan ini gantian jaganya. Karena mereka juga punya pekerjaan lain. Habis kerja dagang, mereka jaga. Itu sampai 24 jam jaganya, dibagi shiftnya. Dulu sama sekali tidak ada petugas dan palang pintu. Ini aja palang pintunya hasil dikasih sama orang,” jelasnya.

Selama menjadi relawan, Pak Tris mengaku pernah mengikuti diklat atau pelatihan dasar dari PT KAI bersama relawan lainnya, di Mojokerto. Dari pelatihan itu, Pak Tris dibekali soal mengatasi laka atau kendaraan macet saat berada di perlintasan kereta.

“Pembekalan dasar selama dua hari, kalau ada truk misalnya. Terus macet di jalur perlintasan kereta. Itu diselamatkan dulu keretanya. Jadi, relawannya lari ke arah kereta sambil bawa bendera merah sebagai tanda. Nanti kereta pasti tahu, dan berusaha rem dari jauh,” kata dia.

Sutrisno mengakui, kecelakaan yang melibatkan KA Sri Tanjung dengan mobil Pajero Sport pada Minggu lalu (21/10/2018) adalah laka yang pertama kalinya selama puluhan tahun dia menjadi relawan. Kecelakaan yang menyebabkan tiga orang meninggal dunia ini, sempat membuatnya kaget.

Sebab menurut keterangan dari rekan relawannya, kecelakaan itu terjadi begitu cepat. Alarm di perlintasan tidak berfungsi dan kereta api juga dilaporkan terlambat membunyikan bel untuk memberikan tanda.

“Saat kejadian saya sedang sakit di rumah. Tapi saya dengar suaranya, tabrakan keras. Kalau alarm memang tidak berfungsi. Terus dengar kata Rama (relawan palang pintu), kereta juga tidak membunyikan bel. Seharusnya kan, 500 meter sudah bel biar di pos dengar,” tuturnya.

Sutrisno juga mengklaim, bahwa sebelum kecelakaan itu terjadi, dirinya telah menghubungi salah satu petugas yang berwenang untuk memperbaiki alarm yang rusak. Namun saat datang, petugas itu hanya mengeceknya saja dan belum ada usaha perbaikan. Sekitar dua minggu berikutnya, kecelakaan maut itu terjadi.

“Saya sudah telepon ke petugasnya buat betulin itu alarm. Ya benar datang, tapi hanya dicek saja. Katanya kabelnya rusak. Belum diperbaiki. Petugasnya bukan dari PT KAI, katanya sih dari Dishub. Tapi tidak paham Dishub mana. Terus selang dua minggu kemudian, kecelakaan di sini. Mungkin kalau alarm itu dibetulin, tidak terjadi ini,” kata dia.

Terkait perlintasan Pagesangan yang saat ini ditutup, Pak Tris mengaku cukup memberikan dampak nyata pada sisi ekonomi terutama warung dan beberapa pedagang. Kerap kali, warung mereka semakin sepi oleh pelanggan. Karena penutupan perlintasan kereta di Pagesangan itu membuat akses semakin rumit.

Masyarakat harus memilih jalan alternatif lainnya yang jaraknya bisa tiga kali lipat lebih jauh. Itu diduga menjadi faktor berkurangnya pembeli yang biasanya meramaikan lingkungan Pagesangan.

“Sulit ini ekonominya. Rekan saya yang biasanya jualan tisu, ya sekarang tutup. Putar baliknya jauh, bisa berkilo-kilo meter. Jadi bikin orang males. Itu warung yang dekat sana, juga ga seramai dulu,” tambahnya.

Pak Tris mengaku pasrah, apabila perlintasan kereta api itu akan ditutup secara permanen. Namun jika difungsikan kembali, dia bersedia kembali menjadi relawan. Asalkan, perbaikan alarm bisa menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Sebab, alarm baginya tumpuan utama dalam menjalankan tugasnya.

“Ya terserah pemerintah, kalau ditutup ga masalah. Tapi ya gitu, ngaruh juga ke ekonomi kami. Ya ini bisa dijadikan pelajaran, kalau alarm itu penting. Tolong diperbaiki,” harapnya. (ang/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs