Sabtu, 23 November 2024

Kisah Mencekam Penembakan SMA Florida

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan
Para pelajar dievakuasi dari SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland, Florida, menyusul penembakan yang menewaskan 17 orang. Foto: Reuters.

Jarum jam menunjuk ke angka 14.30 ketika David Hogg mendengar rentetan pertama tembakan.

Remaja berusia 17 tahun itu sedang berada di ruang kelas ilmu lingkungan di SMA Marjory Stoneman Douglas, Florida, Amerika Serikat. Guru baru saja membagikan kertas ulangan.

Ketika dia mendengar letusan, teman-teman sekelasnya saling memandang. Mereka bilang, seperti suara senjata.

Sang guru lalu menutup pintu. Dalam hitungan detik, alarm meraung. “Kami spontan berjalan keluar,” kata David. “Kami kira itu bor.”

Begitu seluruh kelas Dabid berjalan ke arah zona evakuasi, mereka menyaksikan “tsunami” orang-orang yang berlarian ke arah mereka. Teman-teman sekelasnya pun berbalik arah dan mengikuti orang-orang yang sudah lebih dulu berlarian menuju koridor sekolah.

Mereka tak menyadari bahwa mereka justru sedang bergerak ke arah si penembak.

“Seorang penunggu sekolah yang heroik menghentikan kami. Dia berseru jangan ke arah sana, dia (penembak) ada di sana.”

Setelah berbalik arah, Ashley Kurth, guru program kuliner yang lebih sering disapa Chef Kurth, memandu para pelajar ini masuk ke ruang kelasnya.

“Dalam tempo 30 detik dengan mudah dia sudah memasukkan 30 atau 40 orang di dalam sana,” kata David. Lampu-lampu dimatikan.

Seorang gadis panik, lalu diberi air minum. Tetapi, kata David, kebanyakan orang relatif tenang.

Kemudian berita penembakan menyebar ke ponsel-ponsel mereka. David punya adik yang juga bersekolah di SMA Stoneman Douglas. “Saya tahu dia selamat, paling tidak pada awalnya,” kata David.

“Saya mendapat pesan teks dari dia, dan panggilan telepon. Dia panik sekali. Saya khawatir tetapi saya tahu dia ada di sisi lain dari sekolah (jauh dari penembak).”

David menelepon ayahnya yang seorang mantan agen FBI. Si ayah menyuruhnya tetap tenang. Teman-temannya yang lain juga menelepon orang tua mereka, bilang betapa mereka mencintai mereka.

Tapi, kata David, tidak ada yang menangis. “Ada energi kelompok yang membuat kami kuat. Ada ketenangan yang mengharukan.”

David adalah wartawan sekolah sehingga mulailah dia mewawancarai orang-orang dengan menggunakan ponselnya untuk kemudian dia rekam.

“Saya bayangkan, jika saya mati, paling tidak rekaman ini bisa diteruskan ke orang lain, sehingga suara-suara ini bisa bergema.”

David berusaha tetap tenang dan menolong yang lain. Ruang kelas itu mempunyai dua pintu: jika si penembak masuk dari pintu yang satu, maka mereka bisa kabur lewat pintu satunya lagi.

Tapi dia tahu pasti itu tak akan muat. “Saya sadar saya mungkin tak akan selamat. Untuk beberapa hal semua orang punya pikiran sama seperti itu.”

Setelah selama satu jam, lima anggota polisi dari Tim SWAT menerebos ruang kelas ini. Mereka menyuruh semua orang di ruang kelas untuk tetap tiarap dengan tangan di atas kepala.

Ketika semua orang disuruh berdiri, satu per satu dikeluarkan dari ruang kelas itu, setelah itu berhamburan berlarian. Tangan mereka tetap di atas kepala.

“Saat itu, mereka belum melumpuhkan si tersangka,” kata David. “Kami tak tahu soal itu, tetapi mereka juga tak tahu dia di mana. Kami terus teang berlari demi menyelamatkan nyawa kami.

Begitu mencapai tempat aman, David merasa sangat terguncang. Dia bertemu ayah dan adiknya. Salah seorang temannya terbunuh.

Kamis pagi itu, David masih berada di luar sekolah ketika 17 orang tewas beberapa jam sebelumnya.

“Saya merasa campur aduk antara marah, sedih. Saya tak ingin hal ini terulang menimpa yang lain. Kenyataannya ada 17 keluarga yang kini merasakan ada ruang kosong,” tutup dia dalam laman BBC. (ant/bid/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs