Arief Budiman Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan ketidaksetujuannya atas usulan sejumlah pihak yang mendorong revisi Peraturan KPU (PKPU) jelang pelaksanaan Pilkada 2018.
Usulan revisi itu, supaya calon kepala daerah yang bermasalah dengan hukum dan berstatus tersangka bisa digantikan orang lain yang diusung koalisi partai politik.
Arief khawatir, kalau ada peraturan mengganti calon gubernur, bupati, dan wali kota yang terindikasi korupsi atau melakukan pidana berat, partai politik tidak akan serius melakukan seleksi sebelum mengajukan calon kepala daerah.
Menurut Ketua KPU, idealnya peraturannya tetap seperti sekarang, sehingga partai politik yang menanggung kerugian, kalau calonnya bermasalah dengan KPK atau penegak hukum lainnya.
Supaya masyarakat daerah tidak salah pilih pemimpin, Arief mengusulkan peraturan diskualifikasi. Dengan begitu, diharapkan parpol pengusung calon kepala daerah ekstra hati-hati sebelum memberikan dukungan politik.
“Secara pribadi, saya tidak setuju dengan opsi revisi PKPU. Kalau boleh diganti, saya menduga pada Pemilu kemudian hari, siapa saja bisa dicalonkan sebagai kepala daerah karena kalau tertangkap (KPK) bisa diganti,” ujarnya di diskusi publik di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/3/2018).
Sekadar diketahui, di Pasal 78 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pilkada 2018, pasangan calon kepala daerah dapat digantikan kalau berhalangan tetap, seperti meninggal dunia atau sakit keras.
Dalam forum yang sama, Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) berpendapat, dengan adanya revisi peraturan itu KPU bisa saja memasukkan calon kepala daerah yang jadi tahanan KPK dalam kategori berhalangan tetap.
Selain revisi PKPU, Titi juga menyebut masih ada opsi penerbitan Perppu oleh Presiden, atau revisi terbatas Undang-Undang Pilkada, untuk memberikan payung hukum penggantian calon kepala daerah yang berstatus tersangka. (rid/den)