Sabtu, 23 November 2024
Peringatan Hari Santri Nasional

KH Abbas Buntet, Macan Cirebon dan Resolusi Jihad di Kampung Bubutan

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
KH Abbas Abdul Jamil kiai kharismatik yang dikenal dengan kedigdayaan kanuragannya selain keluasan ilmu keislamannya serta peran besarnya dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Foto: NU Online

Hari Santri Nasional yang ditetapkan Presiden pada 22 Oktober erat kaitannya dengan peristiwa pertemuan para ulama sebelum bergolaknya pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Pertemuan ratusan ulama dari Jawa dan Madura itu berlangsung pada 21-22 Oktober 1945 di Kampung Bubutan, Surabaya itu menghasilkan sebuah keputusan bersama yang kini dikenal Resolusi Jihad.

Lokasi pertemuan itu tidak jauh dari lokasi bangunan tempat berdirinya Tugu Pahlawan. Saat itu, pertemuan dipimpin langsung oleh Sang Maha Guru (Hadratussyekh) Hasyim Asy’ari, Pendiri NU.

Drs H Choirul Anam Pemerhati Sejarah Nahdlatul Ulama (NU) yang juga Dewan Kurator Museum NU pernah mengutip dokumen dan kesaksian dari salah satu ulama peserta pertemuan yang sempat dia temui.

Pria yang akrab disapa Cak Anam itu sempat menemui KH Wahab Turchan pendiri Yayasan Taman Pendidikan dan Sosial NU Khadijah, di Wonokromo, Surabaya, yang pada pertemuan itu menjadi peserta dari unsur pemuda.

“Ada KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Chasbullah dari Markas Besar PBNU, KH Masykur dari Sabilillah, Zainal Arifin, Panglima Hizbullah, dan 200-an ulama lain dari Jawa dan Madura,” katanya kepada Antara dikutip NU Online pada 2013 silam.

Pertemuan ratusan ulama dari Jawa dan Madura, kata Cak Anam, melahirkan Resolusi Jihad: bahwa hukum melawan penjajah NICA adalah fardlu ain (kewajiban individu) dan mati dalam perlawanan adalah syahid.

Cak Anam menyebutkan, keputusan ratusan ulama dalam pertemuan inilah yang kemudian disebut salah satu surat kabar di zaman itu: mendorong 60 juta muslim berjihad dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.


KH Hasyim Asy’ari Pendiri NU yang berperan penting dalam melahirkan Resolusi Jihad di Surabaya. Foto: NU Online

Peran Hasyim Asy’ari pada pertemuan itu sangat menentukan. Resolusi yang dihasilkan dari pertemuan itu, menurut bukti sejarah yang ditemukan Cak Anam, merujuk pada Fatwa yang dikeluarkan oleh Sang Maha Guru beberapa hari sebelumnya.

Banyak catatan sejarah menyebutkan, peran ulama lain dalam pertemuan itu dan secara umum pada pertempuran 10 November 1945, yang kini selalu diperingati sebagai Hari Pahlawan, juga cukup penting.

Salah satu ulama yang disebut-sebut berperan penting dalam pertemuan dan perjuangan arek-arek Suroboyo melawan Belanda dan sekutunya adalah Kiai Haji Abbas, pendiri Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat.

Kiai Abbas bin Abdul Jamil adalah kiai kharismatik yang juga dikenal karena kekuatan ilmu kanuragannya. Dia bahkan dikenal sebagai Angkatan Udara Nahdlatul Ulama yang menghancurkan beberapa pesawat tempur NICA di Surabaya.

Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Munawir Aziz, Koordinator Teraju Indonesia, Wakil Sekretaris LTN PBNU dalam artikel yang dilansir di website NU 2016 lalu. Menurut Munawir, Kiai Abbas dikisahkan menghancurkan pesawat tempur musuh dengan bakiak, tasbih, dan butiran pasir sebagai senjata.

Demikian halnya dalam pertempuran 10 November 1945, dengan genggaman pasir yang ditaburkan ke arah musuh, Kiai Abbas mampu membuat mereka kocar-kacir. Pasir itu seakan-akan seperti meriam dan bom yang menghancurkan.

Kedigdayaan ilmu kanuragan atau yang biasa dikenal umat muslim sebagai karomah dari Allah SWT adalah kemampuannya melakukan apa yang disebut oleh Samsul Munir Amin penulis buku Karomah Para Kiai (2008, LKIS Yogyakarta) sebagai psikokinesis.

“Kiai Abbas berangkat dari Cirebon menuju Surabaya dalam sekejap hentakan kaki,” sebut Amin sebagaimana dikutip oleh Munawir Aziz, Koordinator Teraju Indonesia, Wakil Sekretaris LTN PBNU dalam artikelnya.

Sebelum pertempuran yang menelan korban jiwa ribuan, bahkan puluhan ribu pejuang kemerdekaan itu, Kiai Abbas hadir dalam pertemuan di Kampung Bubutan di antara sejumlah kiai seperti Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, dan Kiai Wahid Hasyim.

Kiai Hasyim Asy’ari yang menjuluki Kiai Abbas sebagai “Macan Cirebon” sempat meminta para pejuang di Surabaya menunda perlawanan terhadap Belanda dan sekutunya kalau kiai pendiri Ponpes Buntet yang pernah berguru di Tebuireng, Jombang itu belum tiba di Surabaya.

KH Cecep Ahmad Nidzomuddin cicit Kiai Abbas Abdul, dalam sebuah artikel lain yang dimuat NU Online pada 2009 silam, menyebutkan peran penting buyutnya dalam serangan yang dilakukan pejuang di Surabaya dalam rangkaian pertempuran 10 November 1945.

“Sebelum melakukan perlawanan, KH Hasyim Asy’ari mengatakan, kita tunggu ‘macan’ dari Cirebon dan ‘macan’ tersebut adalah KH Abbas Abdul Jamil, yang kemudian menentukan hari perlawanan dan jamnya, yang kemudian disetujui oleh Bung Tomo,” ujar Cecep.

Sebagaimana catatan sejarah, Bung Tomo pahlawan nasional yang berperan penting menggelorakan semangat juang arek-arek Suroboyo melalui siaran radionya, memang kerap berhubungan dengan para ulama dan kiai, termasuk meminta petunjuk dan restu dari Kiai Hasyim Asy’ari.

Bukan tidak mungkin, Bung Tomo juga sempat menemui Kiai Abbas. Munawir Aziz mengatakan, Kiai Abbas sebelum pertempuran 10 November terjadi memang turut membaur dengan pejuang dari kalangan Kiai di Markas Ulama, di rumah Kiai Yasin Blauran, Surabaya.

“Di rumah ini, para kiai berkumpul merancang strategi, menyusun komando, serta memberikan suwuk (doa) kepada para santri pejuang yang bertempur melawan penjajah,” sebut Munawir mengutip Samsul Munir Amin dalam buku Karomah Para Kiai terbitan 2008 oleh LKIS Yogyakarta.

Kiai Abbas, pascapertempuran 10 November itu juga tercatat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang saat itu sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sementara. Di KNIP, Kiai Abbas mewakili area Jawa Barat.

Peristiwa pertemuan yang menghasilkan keputusan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang tidak lepas dari peran para ulama dan santri inilah yang menjadi dasar penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Pada 21 Oktober 2015 silam, di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Joko Widodo Presiden secara resmi menyatakan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 tahun 2015 yang dia tandatangani.

Penetapan HSN pada 22 Oktober ini didorong oleh berbagai pihak, terutama para ulama Nahdlatul Ulama (NU). Salah satunya, KH Said Aqil Siradj Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mengusulkan tanggal 22 Oktober dalam sebuah FGD di Bogor 23 April 2015 silam.

Kiai Said saat itu mengaku kurang setuju dengan wacana penetapan HSN akan jatuh pada tanggal 1 Muharram. Menurutnya, Tahun Baru Hijriyah merupakan hari di mana seluruh umat muslim dunia memperingati tahun baru Islam setiap tanggal 1 Muharram.

Tanggal 22 Oktober menurutnya mempunyai kekhasan historis dalam konteks perjuangan Indonesia. Momentum penting sejarah perjuangan dan pembelaan kaum santri untuk Indonesia itu adalah Resolusi Jihad yang digawangi KH Hasyim Asyari dan ulama-ulama berbagai organisasi masyarakat lain di luar NU, seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah.

“Saat itu, Mbah Hasyim mengajak santri agar menyambut kedatangan pasukan NICA dengan darah dan nyawa,” kata Kiai Said Aqil Siradj sebagaimana dilansir dalam website Kementerian Agama. Maka tidak bisa dipungkiri lagi peran santri yang memang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.(den)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
31o
Kurs