Tahun ini hubungan Indonesia dan Selandia Baru memasuki usia ke 60. Hubungan diplomatik kedua negara dijalin pada bulan Juli tahun 1958. Sebagai perayaannya, serangkaian program telah dipersiapkan dan sebagian sudah dilaksanakan baik oleh Kedutaan Besar Selandia Baru di Jakarta maupun oleh KBRI di Wellington.
Dalam kaitan tersebut, KBRI Wellington bekerjasama dengan Asean-NZ Busines Council menyelenggarakan seminar ekonomi kreatif, 60 years on-the opportinities in the digital age di Wellington. Pemilihan tema ini dikarenanakan kedua negara dikenal sebagai negara yang mempunyai komitmen tinggi untk menjadikan ekonomi kreatif sebagai tulang punggung perekonomian negara.
Tampil sebagai pembicara, Tantowi Yahya Dubes RI dan Agung Sentausa, Ketua Komisi Investasi Film Badan Perfilman Indonesia. Sedangkan pembicara kunci dari pihak Indonesia adalah, Triawan Munaf Kepala Badan Ekonomi Kreatif dan dari Selandia Baru, Hon David Parker, Jaksa Agung merangkap Menteri Perdagangan dan Pengembangan Ekspor.
Materi yang disampaikan para pembicara kemudian dibahas oleh 3 panelis yang mewakili berbagai industri kreatif di Selandia Baru. Mengawali seminar, Dubes Tantowi Yahya menyampaikan bahwa Indonesia saat ini bertekad untuk menjadi sebagai salah satu pemain utama ekonomi kreatif dunia. Tekad ini selayaknya dimanfaatkan oleh Selandia Baru untuk mulai menggagas berbagai kerjasama.
“Pasar Indonesia yang begitu besar dan keuntungan demografis yang kita punya, harus mampu menjadi daya tarik bagi pengusaha-pengusaha di bidang kreatif di Selandia Baru untuk investasi di kita” jelas Tantowi, Rabu (4/7/2018).
Hampir 100 orang praktisi ekonomi kreatif dari berbagai kota di Selandia Baru hadir dan mengikuti secara aktif seminar yang baru pertama kali dilaksanakan ini. Dalam paparannya Triawan Munaf menjelaskan bahwa Pemerintah saat ini mempunyai komitmen tinggi untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu kekuatan besar ekonomi kreatif di dunia sebelum 2030. Ada 16 sub sektor ekonomi terutama kuliner, fashion dan kerajinan yang merupakan 77.6 persen dari ekonomi kreatif Indonesia dan sub sektor prioritas yakni film, animasi, video, aplikasi dan games serta musik) yang didorong oleh Bekraf. Ekonomi kreatif Indonesia menyumbang US$ 66.61 Milyard atau 7.44 persen dari GDP.
“Sumbangan ekonomi kreatif terhadap GDP kami merupakan terbesar ketiga di dunia, hanya kalah oleh Amerika dan Korea Selatan,” jelas Triawan.
Mewakili industri perfilman, Agung Sentausa menjelaskan bahwa untuk melayani penduduk yang jumlahnya lebih dari 260 juta, layar bioskop di Indonesia baru dikisaran 1400 an. Dibutuhkan 2000 layar lagi untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Indonesia sejak 2016 melalui Perpres no 44, Pemerintah telah mencabut usaha bioskop dan film dari daftar negatif investasi.
“Peluang yang harus dimanfaatkan oleh Selandia Baru,” kata Agung.
Merespon data dan harapan Indonesia tersebut, para panelis dan khususnya Menteri David Parker menjelaskan Selandia Baru membuka peluang sebesar-besarnya bagi Indonesia untuk menjajajaki berbagai kerjasama di ekonomi/industri kreatif. Kemajuan Selandia Baru di industri perfilman lewat film-film box office seperti Lord of the rings, Hobbit, Iron Man, Avatar, King Kong dan lainnya dapat dikolaborasikan dengan keinginan Indonesia untuk melahirkan film-film box office dengan teknologi dan animasi kelas dunia yang beredar secara global.
Triawan secara eksplisit mengatakan kehebatan Selandia Baru dalam menjadikan museum sebagai daya tarik pariwisata lewat kecanggihan tehnologinya harus ditransfer.
“Saya bermimpi museum diorama di Monas dapat menjadi museum modern dan hidup seperti Galipoli di Museum Te Papa Wellington,” harap Triawan.(faz/dwi/rst)