Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menargetkan peluncuran satelit LAPAN-A4 untuk memenuhi berbagai kebutuhan pada 2020 mendatang.
Thomas Djamaluddin Kepala LAPAN mengatakan, kemungkinan besar satelit ini akan tetap diluncurkan dari negara mitra tempat satelit LAPAN-A3/LAPAN-IPB diluncurkan pada 2016 lalu, yakni di India.
“Sampai dengan peluncuran Satelit LAPAN-A5 kemungkinan masih menggunakan negara mitra. Kemungkinan besar masih India,” ujarnya Unair, Senin (6/8/2018).
Peluncuran yang masih nebeng di India ini karena Indonesia sampai saat ini belum punya bandar antariksa sendiri, meski LAPAN sudah berencana membuatnya.
Thomas mengatakan, pembangunan bandar antariksa Indonesia itu baru bisa dikerjakan pada 2030 mendatang dengan target beroperasi setidaknya pada tahun 2040.
“Saat ini sudah mengerucut di dua lokasi. Di Biak (Papua) dan Morotai (Maluku Utara),” ujarnya usai Seminar Nasional Kebijakan Penerbangan dan Antariksa ke-III di Unair.
LAPAN akan memfinalisasi pilihan lokasi bandar antariksa pertama di Indonesia itu pada tahun ini. Pemilihan lokasi ini akan mempertimbangkan banyak aspek.
“Baik secara teknis maupun kemitraan nasional dan internasional, termasuk kemitraan dengan daerah,” katanya.
Baik pembuatan satelit LAPAN A4 yang dikerjakan bersama Universitas Hasanuddin, juga pembuatan bandar antariksa pertama, keduanya termasuk dalam Rencana Induk Keantariksaan.
Rencana Induk Keantariksaan telah diatur dalam Perpres 45/2017 yang mengamanatkan visi keantariksaan 2016-2040, yakni mencapai penyelenggaraan keantariksaan yang mandiri, maju, dan berkelanjutan.
Ada lima kegiatan Rencana Induk Keantariksaan LAPAN: sains antariksa; penyelengaraan penginderaan jauh; penguasaan teknologi roket, satelit, dan aeronautika; penyelenggaraan peluncuran; serta kegiatan komersial keantariksaan.
Dari semua kegiatan itu, dua yang terakhir yang sampai saat ini belum dilakukan oleh LAPAN karena adanya beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor anggaran.
Thomas mengatakan, sampai saat ini LAPAN belum melakukan perencanaan anggaran pembuatan bandar antariksa pertama di Indonesia itu. Dia mengakui, biaya pembangunannya cukup besar.
“Kami akan mengupayakan pembiayaan ini melalui kemitraan baik nasional maupun internasional. Sementara ini ada beberapa negara yang tertarik, seperti RRT, India dan Korea,” ujarnya.
Perlu diketahui, anggaran riset dan Iptek yang didapat LAPAN saat ini tidak lebih dari 0,1 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai lebih dari Rp13,5 ribu triliun.
“Kami sebenarnya mengusulkan Rp1,3 triliun (sekitar 0,1 persen dari PDB) tapi belum disetujui. Saat ini yang kami dapat sekitar Rp700-800 miliar saja. Ya, itu untuk lima kegiatan tadi,” ujarnya.
Kendala lain yang dihadapi LAPAN adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM). Thomas mengatakan, sebagaimana kendala lembaga lain, LAPAN terkendala moratorium CPNS untuk memenuhi kebutuhan SDM.
Dengan tenaga dan anggaran yang terbatas itu, Thomas mengklaim kinerja LAPAN dipandang sudah cukup baik oleh dunia. Kemampuan Indonesia membuat sendiri tiga satelit mikro sudah dianggap sebagai keunggulan penguasaan teknologi antariksa.
“Indonesia sering dianggap mewakili negara berkembang dalam konteks kemajuan penguasaan teknologi antariksa, dan dianggap sudah maju dengan segala keterbatasan anggaran dan SDM,” ujarnya.
LAPAN saat ini sudah mengembangkan tiga satelit mikro yang telah diluncurkan lewat India. Ketiganya adalah LAPAN-A1/TUBsat, satelit LAPAN-A2/LAPAN-Orari, dan satelit LAPAN-A3/LAPAN-IPB.
Satelit itu telah diluncurkan dengan berbagai macam misi seperti untuk pengamatan bumi, pemantauan kapal di lautan, komunikasi radio amatir, serta pengamatan medan magnet bumi.
Saat ini LAPAN sedang mengembangkan satelit baru LAPAN-A4 dan satelit LAPAN-A5. Bila sesuai target yang ditetapkan, satelit LAPAN-A4 akan diluncurkan pada 2020 mendatang.(den/ipg)