Pemerintah diminta menurunkan Pungutan Ekspor (PE) Sawit untuk mendongkrak harga tandan buah segar (TBS) dan meningkatkan daya saing ekspor crude palm oil atau minyak sawit mentah (CPO) di luar negeri menyusul harga TBS di tingkat petani yang terus merosot.
Eriko Sotarduga Anggota Komisi VI DPR mengatakan, bila PE diturunkan atau untuk sementara waktu ditiadakan, maka akan mendorong para pengusaha maupun eksporter segera mengapalkan minyak sawit mentah ke negara-negara tujuan ekspor.
“Kami minta ke pemerintah agar PE itu diturunkan atau untuk sementara waktu ditiadakan agar TBS petani ini bisa mendapatkan harga yang wajar,” ujar Eriko di Jakarta, Senin (19/11/2018), dilansir Antara.
Selama ini, lanjutnya, banyak pengusaha yang masih menahan CPO-nya di tangki-tangki penimbunan karena harga internasional masih rendah yakni di kisaran 500 dolar AS per ton.
Dengan harga itu, menurut Eriko, harga TBS di tingkat petani seharusnya masih sekitar Rp1.300 per kilogram atau sekitar 18-20 persen dari harga per kilogram CPO internasional.
Oleh karena itu, untuk menyikapi anjloknya harga TBS itu, harus ada sinergi yang baik antara pemerintah, pengusaha dan asosiasi petani. Selain itu, perlu ada kolaborasi antara Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), serta Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dalam rangka membuka pasar-pasar ekspor baru.
Selain itu, Kemenlu melalui kedutaan besarnya di luar negeri harus intens membuka pasar baru, karena selama ini, Indonesia masih mengandalkan pasar-pasar ekspor tradisional seperti China, India, dan Pakistan. Pasar-pasar di kawasan Timur Tengah dan Afrika merupakan pasar potensial untuk dimasuki.
Rino Afrino Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengungkapkan, harga TBS di pabrik kelapa sawit (PKS) di Sumatera antara Rp750-Rp1.050 per kg. Sementara itu harga di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Barat (Kalbar) lebih rendah jika dibandingkan harga TBS di Sumatera.
Harga TBS di Pulau Sulawesi dan Papua hanya Rp500 hingga Rp700 per kilogram, padahal biaya pengelolaan TBS yang dikeluarkan petani yang terdiri dari biaya perawatan, pemupukan, hingga panen sekitar Rp800 hingga Rp900 per kilogram.
“Ini artinya, jika petani menjual TBS di bawah Rp800 per kg, maka itu adalah jual rugi,” ujar Rino.
Rino mengungkapkan penurunan harga TBS di tingkat petani ini sudah berlangsung sejak lebaran atau bulan Juni 2018.
“Di awal penurunan harga TBS, petani masih belum merasakan. Namun harga saat ini, kami semuanya menjerit. Karena itu, kami minta pemerintah harus segera turun tangan untuk menyelamatkan harga TBS petani,” ujarnya.
Pada Selasa (13/11/2018) lalu, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengirimkan surat kepada Darmin Nasution Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Dalam surat tersebut, Apkasindo meminta penurunan tarif pungutan ekspor karena tanki timbun sawit sangat penuh. Dampaknya, mengurangi pembelian TBS petani.
“Oleh karena itu, tarif pungutan ekspor sebaiknya diturunkan sementara supaya ekspor meningkat, lalu harga CPO dan TBS dapat terangkat kembali,” kata Rino.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 114 Tahun 2015 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) menetapkan tarif pungutan ekspor CPO dan CPKO sebesar 50 dolar As per ton.
Sementara itu, RBD (refined, bleached, and deodorized) Palm Olein sebesar 30 dolar AS perton, RBD palm oil dan PKO sebesar 20 dolar AS per ton, bungkil dan residu sawit sebesar 20 dolar per ton hingga cangkang kernel sawit sebesar 10 dolar AS per ton.
Menurut dia, idealnya, penurunan tarif pungutan ekspor dibuat berjenjang dan tetap memberi ruang bagi pengembangan industri hilir. Misalnya, tarif pungutan ekspor CPO menjadi 30 dolar AS per ton, RBD Palm Olein menjadi 10 dolar AS per ton dan produk dalam kemasan dibebaskan dari pungutan ekspor. (ant/nin)