Upaya dalam memperkenalkan batik Jawa Timur hingga ke mancanegara dalam mengembangkan perbatikan Indonesia masih dilakukan oleh Erwin Sosrokusumo, Ketua Batik Bhuana Jawa Timur.
Selain mengajarkan batik di Jatim, Erwin juga mengajarkan batik di Afrika, Argentina, Belanda, dan Turki.
“Saya memperkenalkan proses membatik tradisional Indonesia sesuai kurikulum membatik Indonesia,” ungkap Erwin.
Erwin menceritakan, mengenalkan batik di mancanegara, dalam hal pewarnaan sendiri sudah bukan suatu yang sulit dilakukan.
Meski banyak tumbuhan di sana yang tidak memiliki getah, yang jauh dari standar kualitas yang baik untuk digunakan membatik seperti warna alam dari tumbuhan di Indonesia, di sana mereka sudah memiliki warna sintetik yang ramah lingkungan.
Erwin menilai, memperkenalkan Indonesia dalam hal seni budaya ini lebih baik daripada hal perdagangan.
“Mengajar membatik ini membuat mereka mampu menilai betapa sulitnya membatik sehingga perlu untuk dihargai,” tuturnya.
Dalam mengajarkan membatik, Erwin juga mengaku tidak menunjukkan lamanya proses membatik, namun bagaimana batik bisa diberdayakan dengan secepat mungkin.
“Kalau prosesnya lama, nanti mereka tidak menyukai. Dengan harga tinggi dan pengerjaan cepat dilakukan, membuat mereka lebih tertarik dan berminat membatik,” ungkapnya.
Dalam hal motif, Erwin menilai desain dari motif yang berkembang harus diperjuangkan agar masyarakat dunia tidak bosan disuguhkan dengan motif yang itu-itu saja.
“Desain perbatikan harus berkembang meski teknik tetap tradisional karena art design terus berkembang,” jelas Erwin.
Erwin mengungkapkan bahwa ia selalu membawa motif tiap-tiap daerah di Jatim yang telah dipatenkan untuk motif batik Indonesia tiap ia pergi mengajar di luar negeri.
“Dengan membawa motif-motif ini, jadi sekaligus ikut memperkenalkan berbagai daerah di Indonesia,” ungkapnya.
Saat mengajar di Afrika, Erwin pernah disuguhkan sebuah kain batik dengan motif Jawa dan beberapa motif batik dari daerah lain yang ditembak oleh China dan India.
Tak hanya Erwin yang terkejut, warga Afrika pun juga terkejut.
“Akhirnya saya tunjukkan file-file batik kita. ‘Kok bisa sama?’ kata mereka. Saya bilang, mereka pencuri motif dari Indonesia. Saya juga tunjukkan motif dari Madura yang saya bawa ke sana. Mereka senang dan antusias melihatnya,” ungkapnya kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (2/10/2018).
“Kain batik motif Madura yang saya bawa dua koper, yang di Indonesia dijual Rp100 ribu dapat 3 nggak laku, di sana ludes terbeli tanpa tawar menawar,” kenangnya.
Di Afrika, lanjut Erwin terdapat sebuah gudang kain batik motif printing Indonesia dari China dan India yang dijual dengan harga sangat mahal.
“Padahal baru motif printing, bukan canting. Tapi harganya sudah sangat mahal,” ujarnya geram.
Erwin yang sebentar lagi akan pergi mengajar lagi ke 9 negara bersama UNESCO berharap, motif batik yang sudah memiliki hak cipta tapi tetap saja masih menjadi sasaran pihak asing untuk dicuri dan dianggap sebagai budaya mereka ini menjadi perhatian pemerintah.
“Kasihan teman-teman yang sudah miliki hak cipta motif yang dijiplak. Hal ini harusnya menjadi perhatian pemerintah kita,” pungkasnya. (nin/ipg)