Surabaya memiliki masyarakat yang toleran di tingkat grassroot. Wahyu Wicaksana Pengamat Terorisme Unair menyebut, kondisi ini menguntungkan untuk menghadang terorisme di Surabaya. Kasus intoleransi dan terorisme yang pernah terjadi di Surabaya pada Mei 2018 dianggapnya tidak akan mampu merusak multikulturalisme yang sudah terbangun berabad-abad lalu.
“Bayangkan kalau ini terjadi di solo, atau di tempat-tempat perdagangan internasional baru yang muncul setelah kemerdekaan. Akan jauh lebih besar dampaknya,” kata Wahyu ketika ditemui usai menjadi pemateri di Seminar Internasional yang digelar BEM Unair, Surabaya, pada Rabu (21/11/2018).
Ia menyebut interaksi multikultur di Surabaya yang sangat kuat menjadi modal sosial bagi Surabaya. Ia menyebut, masyarakat Surabaya meski memiliki rasa benci, tidak akan menunjukkan kebencian tersebut pada orang di luar komunitasnya.
“Ini (intoleransi, red) yang coba dimainkan di Surabaya, tapi gagal. Untungnya kita punya social capital (modal sosial,red) itu,” katanya.
Ia menyebut, Surabaya perlu mengembangkan Community Leads Counter Terrorism. Pendekatan ini adalah upaya antiteror yang dipimpin oleh komunitas. Semisal di Kampus, yang mengantisipasi adalah dosen, organisasi mahasiswa, dan pimpinan-pimpinan kampus. Ia juga mencontohkan, komunitas pengajian di masyarakat bisa mengundang penceramah yang teduh dan tidak menebar intoleransi ketika berceramah. (bas/rst)