Rencana Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019, masih pro kontra.
Hal itu karena DPR RI, Pemerintah dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kurang sependapat dengan rencana KPU mengeluarkan peraturan tersebut.
Abdul Hakam Naja Anggota Komisi II DPR RI mengatakan, rencana pemberlakuan PKPU itu berpotensi digugat ke Mahkamah Agung (MA), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sebagai alternatif, legislator dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengusulkan supaya KPU mempublikasikan kalau ada mantan koruptor yang mendaftar sebagai calon anggota dewan.
“Fraksi PAN berpandangan rencana KPU itu patut diberikan dukungan. Tapi, kami juga memikirkan bagaimana supaya PKPU itu tidak mentah lagi karena kalah judicial review di Mahkamah Agung. Makanya, sebagai alternatif kami mendukung KPU mempublikasikan secara massif calon anggota legislatif yang pernah jadi napi kasus korupsi,” ujarnya dalam diskusi publik yang digelar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (26/5/2018).
Dengan cara yang ekstrem itu, Hakam Naja berharap masyarakat menyadari kalau menerima uang dari calon anggota dewan jelang pemilihan juga termasuk dalam tindakan koruptif.
“Jadi, sebelum pemilihan, ada keterangan dari KPU siapa saja calon yang pernah terlibat korupsi. Apakah masyarakat akan memilih? Semoga saja tidak, dan masyarakat sadar politik uang juga korupsi,” imbuhnya.
Sebelumnya, Arif Budiman Ketua KPU menegaskan pihaknya konsisten mengupayakan pemberlakuan PKPU tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi mendaftar sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2019.
Dia mengatakan, KPU sudah tahu konsekuensi pemberlakuan aturan itu, termasuk menghadapi gugatan judicial review pihak-pihak yang merasa dirugikan, di Mahkamah Agung. (rid/ipg)