Bagong Suyanto Sosiolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, fenomena pengadilan jalanan masih terjadi karena ada krisis kepercayaan pada praktik penegakan hukum.
Perlu diketahui, terjadi insiden amuk massa yang diawali tabrak lari di Jalan Wiyung, Surabaya, Selasa (23/1/2018) sore. Warga dan pengguna jalan menghajar pengemudi mobil Grand Livina silver bernomor polisi L 1665 W hingga tidak sadarkan diri. Masyarakat juga merusak beberapa bagian mobil yang menabrak tujuh kendaraan tersebut.
“Rasa ketidakpuasan sering diluapkan kalau ada kejadian seperti ini. Masyarakat yang terlibat pengadilan jalanan, tidak merasa bersalah saat melakukan kekerasan,” katanya kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (24/1/2018) pagi.
Bagong menjelaskan, memang tidak ada logika dalam karakteristik perilaku kerumunan. Emosi tidak terkontrol. Tinggi rendahnya jenjang pendidikan para pelaku juga tidak berpengaruh. Mereka yang pendidikan tinggi juga bisa larut dalam aksi massa.
“Memang sulit menuntut pidana para pelaku pengadilan jalanan. Namun kesadaran pelaku akan muncul ketika tahu korbannya terkapar,” ujarnya.
Petugas kepolisian di beberapa negara maju memiliki kemampuan teknis saat ada aksi kerumuman, diatasi dengan menyanyikan lagu kebangsaan. Orang dalam kerumunan ditarik kembali ke situasi penyadaran keadabannya.(iss/ipg)