Achmar Zakaria Anggota Komisi B DPRD Surabaya, di Surabaya, Jumat (20/4/2018), mengatakan kenaikan PBB semestinya tidak terjadi jika Pemkot Surabaya tidak memberlakukan kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
“Jika NJOP naik ya otomastis PBB naik. Ini karena NJOP sebagai dasar dikenakan PBB,” katanya.
Menurut dia, idealnya perubahan/kenaikan NJOP di suatu kawasan itu dilakukan tiga tahun sekali. Kalaupun perubahan/kenaikan NJOP tiap tahun, lanjut dia, hanya untuk objek pajak tertentu, misalnya akibat perubahan bangunan, renovasi, atau menambah lantai dan lainnya.
“Kalau misal karena di suatu kawasan permukiman ada gedung hotel baru/ruko baru, bukan berarti semua objek pajak PBB berupa rumah biasa disekitarnya ikut naik,” ujarnya seperti dilansir Antara.
Ia beranggapan bahwa kebijakan kenaikan PBB itu bisa disebut bentuk pengusiran warga secara halus. “Kasihan warga di sekitar objek yang kena pembangunan,” katanya.
Akibat naiknya PBB, kata dia, warga yang biasanya enggan bayar tepat waktu, lama-lama tidak bayar PBB dalam jangka waktu beberapa tahun, pada akhirnya lama-kelamaan terkena bunga dan denda.
“Akhirnya warga menyerah dan dijual rumahnya. Ini kan pengusiran secara halus,” ujarnya.
Zakaria mengatakan kalau Pemkot Surabaya mau menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) jangan membebani rakyat banyak. Padahal APBD Surabaya tiap tahun selalu ada sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) sebesar Rp800 miliar sampai Rp1 triliun.
Yusron Sumartono Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pajak Daerah (BPKPD) Pemkot Surabaya sebelumnya mengatakan alasan menaikkan PBB karena dipengaruhi banyak faktor di antaranya perkembangan, pertumbuhan, dan investasi, serta transaksi jual beli di Kota Pahlawan semakin naik.
Menurut dia, karena nilai jual rumah, tanah dan bangunan naik, maka nilai jual objek pajak (NJOP) permeternya juga naik. Di dalam NJOP itu, ada level-level atau kelas-kelasnya, dan setiap level itu berbeda-beda besaran nilai jualnya.
Hal itu, lanjut dia, sudah diatur dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 73 Tahun 2010 tentang klasifikasi dan penetapan nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan PBB di Kota Surabaya.
“Tentunya, NJOP nya itu dihitung dari adanya pertumbuhan dan perkembangan kawasan itu, sehingga apabila kawasan itu semakin tumbuh dan berkembang, maka objek pajak akan naik level dan otomatis nilai besaran NJOP-nya juga semakin naik,” kata dia.
Setelah itu, lanjut dia, ada yang namanya tarif PBB. Sesuai Perda no 10 tahun 2010, tarif PBB ada dua macam, yaitu 0,1 persen khusus untuk NJOP yang nilainya kurang dari Rp1 miliar dan 0,2 persen khusus untuk NJOP yang nilainya lebih dari Rp1 miliar.
“Sedangkan nilai PBB itu berasal dari NJOP dikalikan dengan tarif PBB yang sudah ditetapkan di dalam Perda. Jadi, karena NJOP-nya naik, tentu berpengaruh pada nilai PBB yang akan naik pula,” katanya. (ant/ino/ipg)