Prof Dr Yetty Herdiyati Sumantadiredja Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Unpad mengatakan karies gigi pada balita masih menjadi permasalahan dental tertinggi di Indonesia.
Angka prevalensi karies gigi pada anak balita di Indonesia berada pada angka 90,05 persen, dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) PBB juga menyebut, Indonesia memiliki prevalensi Early Childhood Caries (ECC) tertinggi pada anak usia tiga hingga lima tahun.
Prof Yetty dalam siaran pers Humas Unpas, di Bandung, Jumat, memaparkan ECC atau karies gigi pada balita disebabkan empat faktor utama, yaitu gigi yang rentan, plak, substrat, dan waktu.
Jika dikaitkan, penyebab karies ini didasarkan adanya hubungan yang tidak seimbang antara daya tahan gigi dan faktor kariogenik, yaitu gigi yang kuat akan lebih tahan terhadap serangan karies dibandingkan gigi yang rentan.
Ia menuturkan, ECC ini awalnya ditandai adanya gambaran titik putih (white spot) pada gigi insisif sulung rahang atas sepanjang margin gingiva atau bagian tepi gusi yang menyelimuti gigi.
“Gambaran ini terlihat pada usia satu tahun yang diikuti kerusakan pada insisif lateral gigi,” kata dia seperti dilansir Antara.
Menurut dia, apabila gejala ini tidak diintervensi, menjelang usia dua tahun karies dalam berlanjut hingga merusak seluruh mahkota gigi insisif sentral rahang atas dan diikuti kerusakan pada molar satu rahang bawah.
“Jika masih tetap dibiarkan, pada usia tiga dan empat tahun, karies ini dapat berlanjut mengenai gigi molar kedua rahang bawah,” katanya lagi.
Puncaknya, ketika di usia lima tahun, seluruh gigi sulung, kecuali kaninus sulung, seluruhnya telah terkena karies.
“Penyebab ECC dikarakteristikkan adanya kolonisasi awal Streptococcus mutans dalam rongga mulut. Ini merupakan bakteri komensal dalam rongga mulut dan berperan penting dalam pembentukan karies,” kata Yetty.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Streptococcus mutans memiliki 4 enzim glukosiltransferase (GTF), yaitu GTF A hingga GTF D. Dari empat enzim tersebut, enzim GTF B dan GTF C yang dapat menyebabkan terbentuk karies.
Pengeluaran enzim GTF ini dikode oleh Gen gtf B dan gtf C yang mampu menghasilkan glukan tidak larut.
Penanganan ECC tidak bisa hanya melibatkan anak dan dokter gigi saja. Peran orang tua, pengasuh, dan pemerintah juga penting dilibatkan dalam penanganan tersebut.
Menurutnya, pencegahan ECC mengutamakan pada promosi tingkah laku dalam merawat gigi, seperti menyikat gigi, keterjangkauan fluoride atau senyawa dalam pasta gigi yang berfungsi menyehatkan gigi, hingga kebiasaan pola makan sehat.
Dia mengatakan, orang tua perlu mendampingi anak dalam menyikat gigi. Penggunaan pasta gigi berfluoride minimal dua hari sekali dilakukan sesegera mungkin jika gigi sulung anak mengalami erupsi. Proses ini dilakukan untuk mengurangi terjadi ECC.
“Selain itu, pencegahan ECC juga dilakukan melalui pendekatan pola makan anak,” kata dia lagi.
Prof Yetti mengatakan, kontrol terhadap makanan yang dapat menyebabkan karies perlu dilakukan dari usia 12 bulan dan terus dijaga selama masa anak-anak. Orang tua juga perlu melatih bayi untuk menghentikan kebiasaan minum susu dalam botol antara usia 12-16 bulan, dan mulai membiasakan minum dari gelas.
Seluruh penjelasan di atas disampaikan drg, SpPed (K) Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Unpad saat menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka pelantikan dan pengukuhannya sebagai guru besar oleh Rektor Unpad Prof Tri Hanggono Achmad, di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad Kota Bandung, Selasa (8/2/2018).
Orasi ilmiah yang dibacakan Prof Yetti itu berjudul “Peranan Gen gtf B/C yang Mengekspresikan Enzim Glukosiltransferase Streptococcus Mutans pada ECC untuk Menuju Anak Indonesia Sehat”. (ant/dwi)