Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur akan berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan untuk mengupayakan modifikasi kebijakan pengurangan tiga jaminan kesehatan sesuai kebutuhan layanan kesehatan di Jawa Timur.
Kohar Hari Santoso Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Timur menyebutkan, jumlah tambahan kasus katarak di Jawa Timur mencapai 250 ribu kasus setiap tahunnya.
“Sebanyak 180 ribu sudah kami selesaikan, jadi masih ada sekitar 70 ribu penderita katarak yang stuck belum tertangani,” ujarnya ditemui di DPRD Jatim, Senin (6/8/2018).
Dinkes Jatim berkoordinasi dengan pihak pemberi pelayanan, rumah sakit-rumah sakit, Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), dan pihak terkait lainnya soal penanganan katarak pascaberlakunya kebijakan BPJS Kesehatan.
“Kami perlu mengukur kapasitas kemampuan pelayanan ini seberapa, jangan sampai (kebijakan baru ini,red) menyebabkan gangguan. Kalau laporannya, sih, sejauh ini masih bisa dilakukan dengan baik,” katanya.
Kohar menyoroti beberapa kriteria pengurangan jaminan kesehatan BPJS. Dia menganggap, kriteria visus sebagai penilaian perlu tidaknya operasi katarak terlalu relatif.
“Visus itu relatif. Karena orang-orang tertentu, kabur sedikit saja harus dioperasi. Tapi ada orang yang pekerjaannya tidak terlalu detail menggunakan mata, bisa dimaklumi,” ujarnya.
Koordinasi dengan BPJS akan dia lakukan, terutama karena Pemprov Jatim menargetkan pada 2020 mendatang tidak ada lagi kasus kebutaan masyarakat akibat penyakit katarak.
Dia juga berharap ada lebih banyak kegiatan bakti sosial operasi katarak gratis seperti yang sudah dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di instansi-instansi lainnya, untuk menekan angka kasus katarak.
Soal kebijakan pemisahan jaminan kelahiran bayi dan bayi yang mengalami gangguan kesehatan, menurutnya perlu hati-hati dalam penerapannya. Ada bayi yang lahir tidak perlu pertolongan ada pula yang lahir normal tiba-tiba perlu pertolongan.
“Kalau dibatasi, ini akan membuat orangtua enggan untuk datang. Ini juga akan menimbulkan risiko. Karenanya kami akan memantau terus, sampai sejauh mana dampaknya,” katanya.
Perlu diketahui, angka kematian bayi di Jawa Timur, berdasarkan data BPS 2016 lalu, relatif masih tinggi. Yakni mencapai 23,6 bayi dari 1.000 kelahiran hidup.
Pembatasan rehabilitasi medik BPJS yang menerapkan maksimal 2 kali seminggu menurutnya juga perlu ada pemilahan sesuai kasus yang dialami oleh penerima layanan.
“Memang ada kasus-kasus yang harus direhabilitasi medik setiap hari, tidak bisa satu minggu dua kali. Jadi harus dipilah betul, mana yang bisa seminggu dua kali, mana yang harus setiap hari,” katanya.
Dinkes Jatim, kata Kohar, akan terus berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan mengenai penerapan kebijakan baru yang tertuang dalam beberapa aturan BPJS Kesehatan itu.
“Kami akan koordinasi dengan BPJS Kesehatan sampai ada modifikasi seperlunya. Prinsipnya, pengobatan yang efektif kepada masyarakat harus teyap diberikan, baru bicara efisiensi pembiayaan,” katanya.
Perlu diketahui, pemangkasan tiga jaminan kesehatan oleh BPJS Kesehatan ini dilakukan karena BPJS menyebutkan badannya mengalami defisit anggaran mencapai Rp7 triliun
Data BPJS Kesehatan menunjukkan, tiga jaminan kesehatan yang dibatasi pelayanannya diklaim sebagai jaminan kesehatan yang paling banyak memakan anggaran.
Anggaran untuk operasi katarak mencapai Rp2,6 triliun, bayi sehat ditagihkan terpisah dari ibunya mencapai Rp1,1 triliun, dan rehabilitasi medik mencapai Rp960 miliar.(den/iss)