Ananda Mustadjab Latif Ketua Yayasan Peduli Bumi Indonesia (YPBI) mempertanyakan, benarkah Polystyrene Foam (PS Foam), atau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan merek Styrofoam, benar-benar berbahaya bagi kesehatan?
Dia membuka pertanyaan itu dalam Forum Grup Diskusi (FGD) tentang “Membangun Sistem Manajemen Sampah dan Timbulan Sampah PS Foam” di Auditorium Fakultas Teknologi Kelautan ITS, Selasa (21/3/2017).
Ada beberapa narasumber dalam FGD itu, salah satunya Sri Bebassari peraih penghargaaan Kalpataru dari Jokowi Presiden pada 2015 lalu, yang juga merupakan Ketua Umum Indonesian Solid Waste Association (InSWA).
“Berbahayakah PS Foam bagi kesehatan? Mengingat selama puluhan tahun sudah banyak digunakan untuk kemasan makanan, dan baru belakangan ini dipersoalkan,” kata Ananda.
Per 1 November 2016 lalu, Ridwan Kamil Wali Kota Bandung resmi melarang penggunaan styrofoam untuk kemasan makanan. Pelarangan ini menjadi wacana yang dibincangkan banyak media.
Ada beberapa alasan yang terungkap. Ridwan menyebutkan, selain membahayakan kesehatan, styrofoam tidak bisa terurai dengan cepat. Selain itu, styrofoam juga menjadi salah satu sumber banjir di Bandung bersama kantong plastik.
Yulinah Trihadiningrum Pengajar yang bergiat Laboratorium Pengelolaan Limbah Padat dan Limbah B3 Departemen Teknik Lingkungan Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) mengatakan, PS Foam berasal dari minyak bumi pada suhu tinggi.
“Titik lelehnya 240 derajat celcius, dan suhu maksimum pemakaiannya 75 derajat celcius,” ujarnya dalam pemaparan di hadapan peserta FGD.
Dia menyatakan, PS Foam merek Styrofoam adalah produk yang dipatenkan oleh Dow Chemical, USA, dan difungsikan bukan untuk pembungkus makanan.
“Jadi styrofoam di awal pematenannya ditujukan sebagai isolator pada bahan konstruksi bangunan. Sekarang malah jadi pembungkus makanan,” katanya.
Beberapa dampak PS Foam bagi kesehatan, kata Yulinah, yakni efek karsinogenik dan gangguan kesehatan pada manusia.
Bila zat PS Foam ini masuk ke sistem pencernaan dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti anemia, serta gangguan sumsum tulang belakang.
“PS Foam juga mencemari laut dan mengganggu rantai makanan. Volumenya yang besar dan sulit terurai juga mengurangi kapasitas tampung TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah,” ujarnya.
Yulinah pun menyitir standar kemasan pangan dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18/2012 tentang Pangan, bahwa pengusaha makanan wajib menggunakan bahan kemasan pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia.
Sri Bebassari Ketua Umum Indonesian Solid Waste Association (InSWA) berpendapat, masalah sampah di Indonesia bukan karena salah plastik atau styrofoam.
“Tapi salah pakai dan salah buang. Kalau ada sampah laut, berarti ada something wrong dalam pengelolaan sampah kita,” ujarnya.
Bebassari mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa seiring peningkatan jumlah penduduk di Indonesia, jumlah sampah pada 2020 diperkirakan mencapai 500 juta kilogram per hari atau 190 ribu ton per tahun.
“Sudah sangat mendesak, semua kota-kota besar di indonesia harus memiliki sarana modern pengelolaan sampah. Memang perlu alokasi anggaran. Ada pilihan teknologi pengolahan sampah yang mampu menghasilkan listrik, yakni insenerasi,” ujarnya.
lncenaration atau insenerasi adalah metode pemusnahan sampah dengan cara membakar sampah secara besar-besaran. Namun, kata dia, sistem insenerasi ini tidak berkembang di indonesia dengan berbagai alasan.
Ananda Mustadjab Latif Ketua YPBI mengatakan, FGD hasil kerja sama dengan InSWA dan Pascasarjana ITS itu digelar untuk mencari sistem manajamen yang cocok untuk daerah perkotaan seperti Surabaya.
“Alternatif dari PS Foam konvensional yang hancur ratusan tahun, saat ini harus diganti dengan PS Foam yang bisa terurai dalam 5 tahun, sehingga menjadi sahabat kehidupan manusia,” ujarnya.
YPBI turut mengundang pengusaha kemasan styrofoam tersebut. Kemasan bernama KSP Foam Lunch Box itu diklaim telah diolah dengan tambahan zat tertentu sehingga lebih cepat terurai di dalam tanah.(den/iss/ipg)