
Ahmad Suaedy, Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan Substansi Pendidikan mengaku, tim Ombudsman Republik Indonesia (ORI), menemukan adanya indikasi maladministrasi (perilaku atau perbuatan melawan hukum) selama pelaksanaan USBN SMP/MTs/ sederajat.
Baik itu yang diatur dalam Prosedural Operasional Standar (POS) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), maupun tidak diatur dalam POS USBN. Temuan itu waktu melakukan pemantauan USBN tingkat pendidikan SMP/MTs/ sederajat secara nasional, pada 4 April 2017.
Seperti Kemendikbud RI sebagai pembuat kebijakan USBN tidak menyediakan sistem pembuatan soal, pendistribusian dan pengamanan penyelenggaraan USBN.
Kebijakan itu, masih kata Ahmad Suaedy, Kemendikbud justru menyerahkan sepenuhnya pada pihak sekolah dalam pelaksanaan USBN. Tidak melakukan pengawasan ketat terkait pembuatan, penggandaan, pendistribusian soal, pembuatan kunci jawaban, dan hasil ujian dilakukan pihak sekolah masing-masing Pemerintah Daerah.
Hal ini menimbulkan indikasi kebocoran soal ujian dan/ atau kunci jawaban, yang membuat ombudsman merasa menyesalkan sikap dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, selaku yang memayungi penyelanggaraan USBN.
“Tim Ombudsman menyesalkan Kemendikbud tidak menindaklanjuti temuan maladministrasi penyelenggaraan USBN yang sebelumnya di tingkat SMA sederajat agar tidak terulang pada pelaksanaan USBN tingkat SMP sederajat. Karena, dalam temuannya meningkat menjadi 16 maladministrasi,” kata Ahmad Suaedy, saat dikonfirmasi suarasurabaya.net, Sabtu (6/5/2017).
Temuan lainnya, pengawas ujian tidak menggunakan sistem pengawas silang yang mengakibatkan independensi pengawas diragukan. Lantaran tidak ada koordinasi dengan pihak Kepolisian dalam proses pengamanan pencetakan dan pendistribusian soal.
Pengawas ujian diketahui memainkan, menggunakan alat komunikasi atau elektronik lain di dalam ruang ujian. Kemudian, pengawas ujian tidak sesuai dengan POS USBN yang mensyaratkan pengawas harus berjumlah 2 orang dalam 1 ruang ujian, pada beberapa sekolah hanya terdapat 1 orang pengawas dalam 1 ruang ujian.
Selain itu, banyak sekolah yang jumlah pesertanya lebih dari 20 orang per ruangan, menyebabkan pengawasan menjadi tidak efektif dan ruang ujian menjadi tidak kondusif serta menjadi peluang bagi siswa untuk lebih mudah mencontek. Hal ini tidak sesuai peraturan.
“Pada beberapa sekolah tidak memiliki pakta integritas pengawas untuk menjamin kerahasiaan pelaksanaan ujian serta tidak memiliki Surat Keputusan Pembentukan Panitia USBN yang akan mempengaruhi pertanggungjawaban pelaksanaan USBN di sekolah tersebut,” ujar dia. (rid/bry/ipg).