Freeport tidak tunduk dengan sistem hukum Indonesia tapi hukum Amerika. Indonesia sendiri patuh dengan hukumnya sendiri dan Indonesia tidak takut karena punya landasan hukum yang kuat dalam kasus ini.
“Jadi ada dua, kalau bersidang di Amerika maka akan dicari alternatifnya yang paling tepat arbitrasenya,” kata I Wayan Titip Sulaksana Praktisi Hukum Unair pada Radio Suara Surabaya.
Kata Wayan, keputusannya akan dilakukan dengan voting. Kalau ada kesepakatan, Indonesia harus patuh pada hukum.
Wayan mencontohkan, zaman pemerintahan Soekarno, perusahaan asing harus dinasionalisasikan. Kenapa? Karena saat itu butuh untuk membangun perekonomian yang dihancurkan penjajah.
Lembaga arbitrase, kata dia, punya tantangan yakni hanya negara yang bisa berperkara di Mahkamad Internasional.
“Freeport itu perusahaan. Lembaga arbitrasne internasional yang bisa jadi penengah supaya tidak ada keberpihakan,” ujar dia.
Kata Wayan, Indonesia mengajukan satu hakim, begitu juga dengan Freeport. Indonesia juga akan mempelajari siapa hakim yang akan ditunjuk.
Lalu, apa yang saat ini dinikmati masyarakat Papua? Kata Wayan, kalau rakyat Papua makmur maka tidak akan ada organisasi Papua Merdeka. Karena OPM merasa dianaktirikan dan ada kecemburuan sosial.
“Syarat sosok yang bisa membela setidaknya bisa mengerti ketentuan internasional. Paham betul masalah dan bisa menutup kelemahan kita,” katanya. (dwi)