Yudi Latief, pengamat sosial dan cendekiawan muda menyebutkan bahwa teknologi informasi saat ini tidak bisa dihindari. Namun menggunakan internet dengan sehat harus dilakukan sehingga arus utama berita hoax yang belakangan marak bisa dibenduk.
“Kita harus melakukan konter naratif, jangan menenggelamkan diri pada arus besar kebohongan,” kata Yudi Latief, yang juga Wakil Sekretaris Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia ini, ketika menjadi pembicara di seminar nasional “Kebangsaan, Hoax dan Dunia Akademik yang digelar Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Wilayah VII, Selasa (7/2/2017).
Menurut Yudi, hoax saat ini telah menjelma sebagai bagian dari perkembangan teknologi informasi di Indonesia. Hampir semua sosial media tak lepas dari informasi dan postingan hoax.
Menurut Yudi, informasi hoax begitu subur karena masyarakat masih sangat lemah untuk bisa menyaring informasi. Hoax sendiri muncul karena rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat, serta rendahnya budaya literasi, serta rendahnya saintifik yang dimilki masyarakat.
“Masyarakat kita hidup di tengah kepalsuan dan ketidak jujuran. Ini harus dilawang dengan mengisi ruang-ruang publik dengan informasi positif ketimbang negatif,” ujar alumni Pesantren Gontor, Ponorogo ini.
Intensitas penggunaan sosmed di Indonesia yang mencapai terbanyak keempat dunia menjadikan hoax menjadi cukup serius dan bahkan membuat pemerintah harus turun tangan.
Yang menyedihkan adalah saat ini orang juga cenderung berdusta untuk kepentingan sesaat sehingga sumpah dan keimanan kadang juga disalahgunakan.
“Orang tidak percaya satu sama lain. Namun hoax di Indonesia sudah menjadi bagian dari industri. Sebab semakin banyak disebar semakin mendapatkan uang,” kata Yudi.
Sementara itu, Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Wakil Gubernur Jawa Timur mengatakan, hoax ternyata tidak hanya diproduksi oleh masyarakat dengan tingkat literasi rendah.
“Bahkan yang menyebarkan berita bohong banyak orang pinter berpendidikan juga mengembangkan berita bohong,” kata Gus Ipul, usai membuka seminar tersebut.
Menurut Gus Ipul, kita perlu menggalang semua kekuatan agar menggunakan internet untuk kepentingan yang produktif terutama bagi generasi muda. Berita bohong, palsu, serta wacana yang mengandung unsur sara dan mengancam perpecahan bangsa harus dihindari.
“Ke depan penggunaan internet harus untuk hal produktif untuk kemajuan, kebersamaan dan membangun saling percaya juga mengembangkan budaya ilmiah agar terhindar dari hoax,” kata Gus Ipul.
Di Indonesia sendiri, pengguna internet setiap tahun terus meningkat dan sudah mencapai 132 juta jiwa. Diperkirakan tahun 2017 bisa mencapai 140 juta pengguna.
Gus Ipul mengatakan, jejaring internet memungkinkan siapa saja berinteraksi yang terkadang disertai kebencian (hate speech) terkait ideologi ataupun pemahamanan tertentu yang cenderung bertentangan dengan pihak lain.
“Ujaran kebencian itu berupa penghinaan pencemaran nama baik penistaan perbuatan tidak baik menyenangkan provokasi, penghasutan dan penyebaran berita bohong dengan dampak terjadinya diskriminasi kekerasan serta konflik. Yang menyebarkan berita bohong tidak hanya yang literasi rendah, tetapi yang berpendidikan juga mengembangkan berita-berita bohong,” kata dia.
Dari data yang ada, kata Gus Ipul, di Indonesia saat ini 800 ribu lebih situs diindikasikan penyebaran hoax, 70persen menyebar lewat media sosial (FB, Twitter, Instagram, Path dan lain-lain), 20 persen menyebar lewat tayangan pesan dan chat (sms, whatsapp, bbm, line dll), 10 persen lewat blog dan email.
“60 persen pembua, penyebar dan penikmatnya adalah mereka di usia produktif antara 17-40 tahun,” kata Gus Ipul.
Jawa Timur sendiri dalam waktu dekat akan menggalakkan gerakan literasi dengan cara gerakan Jumat membaca. Gerakan ini akan digagas untuk meningkatkan minat baca sehingga generasi muda warga Jawa Timur bisa dengan mudah menangkal hoax dengan pengetahuan yang mereka miliki masing-masing. (fik/rst)