Jumat, 22 November 2024
Di Balik Suara Lantang Bung Tomo

Tak Hanya Demi Tanah Air, Bung Tomo Berjuang Demi Keluarganya

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Bung Tomo, Sulistina Sutomo dan empat orang anaknya. Foto: Bung Tomo Suamiku (Sulistina Sutomo,2008)

Setelah pertempuran 10 November, tidak sedikit veteran yang nasibnya terkatung-katung. Mereka yang tidak meneruskan karir di militer, juga tidak bergabung di korps pemerintahan, akhirnya menganggur.

Demikian halnya Bung Tomo. Untuk beberapa lama, sebelum akhirnya bergabung di Kabinet Pemerintahan dan bergabung di kalangan DPR, Bung Tomo menganggur.

Sulistina Sutomo istri Bung Tomo menceritakan ini di buku memoarnya, “Bung Tomo Suamiku” (2008). Saat itu, pasukan Belanda baru saja meninggalkan Yogyakarta pada 1948.

Bung Tomo yang turut bergerilya, hingga akhirnya bertemu kembali dengan Sulistina istrinya dan Tien Sulistomo putri sulungnya di Yogyakarta.

Rakyat Indonesia masih dalam euforia kemerdekaan setelah kembalinya kepemimpinan Bung Karno.

Tapi saat itu juga, “lapangan kerja tidak ada. Berbondong-bondong orang mencari kerja, termasuk Mas Tom yang setiap hari keluar rumah,” kata Sulistina Sutomo di bukunya.

Suatu kali, di Yogyakarta, Bung Tomo baru saja pulang dari mencari kerja. Dia tampak lesu. Kepada istrinya, dia mengeluhkan tidak tersedianya pekerjaan untuk dirinya.

“Seharian aku berdiri bersander tembok di kantor Sri Sultan. Baru tengah hari aku diterima beliau, dan dengan menyesal beliau berkata tidak ada lowongan untukku!” Kata Bung Tomo.

Namun, Bung Tomo menghadapi ini dengan tegar. Kepada istrinya dia berkara, “dengar ya, mulai detik ini aku tidak mau meminta-minta jadi pegawai!”

Sulistina Sutomo, di saat-saat seperti itu, mendukung apapun keputusan sang suami. Bagaimanapun, ada pekerjaan atau tidak, Sulistina mengatakan, hidup harus terus berjalan.

Sejak kecil, Bung Tomo terbiasa hidup susah dan bekerja keras. Dia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya yang pernah menjadi pegawai kantor pemerintahan hingga akhirnya tidak bekerja lagi.

Untuk menghidupi keluarga, ayah dan ibu Bung Tomo mencucikan pakaian tetangganya dan mendapat upah seadanya. Sekadar untuk menyambung hidup keluarga.

Bung Tomo kecil tidak bisa meneruskan pendidikan karena kondisi ekonomi keluarganya. Dia sempat menjadi “Kacung Tenis” yang bertugas mengambil bola tenis kalau keluar lapangan.

Tapi pada saat yang sama, Bung Tomo kecil mengikuti kursus pelajaran dari Belanda hingga mengikuti Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Dari dua kegiatannya inilah Bung Tomo belajar kepemimpinan, keterampilan, dan kebahasaan.

Beranjak remaja, Bung Tomo segera menjadi jurnalis. Turut membuat beberapa tabloid meski akhirnya diberedel Belanda karena dianggap berbahaya, sampai akhirnya bekerja di Kantor Berita Domei (kini Antara) di masa penjajahan Jepang.

Dalam keadaan sulit, ketika tidak ada lapangan pekerjaan yang bisa dia dapatkan, Bung Tomo mengandalkan pengalaman. Dia membuka kursus jurnalistik di rumahnya di Yogyakarta, tanpa memungut biaya.

“Dari sejak bekerja di Kantor Berita Domei itu Bapak begitu. Di jaman Jepang itu, pendapatan jurnalis juga tidak seberapa,” kata Bambang Sulistomo satu-satunya putra dari empat bersaudara anak-anak Bung Tomo, kepada suarasurabaya.net, Kamis (9/11/2017).

Pada tahun 1950-an, Bung Tomo bersama kawan-kawan seperjuangannya di Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) mulai tampil di panggung politik.

BPRI lantas berubah menjadi Partai Rakyat Indonesia (PRI). Saat itu, dia harus bolak-balik Malang-Jakarta, karena istri dan anak-anaknya memang berada di Malang.

Bambang Sulistomo mengatakan, karena baru merintis partai, Bung Tomo tetap tidak mendapat pemasukan. Bung Tomo menulis beberapa buku.

“Ada beberapa buku ilmiah, tapi ada buku 10 November yang laku dijual,” ujarnya. “Waktu itu ibu ikut menjualkan bukunya Bapak. Pagi-pagi, Ibu jalan kaki ke toko-toko di Jalan Kayutangan (Malang).”

Dalam keadaan seperti itu, Bung Tomo tetap menekankan kejujuran kepada anak-anaknya, selain menanamkan nilai cinta tanah air, cinta rakyat, dan cinta bangsa.

Sulistina Sutomo di bukunya mengatakan, Bung Tomo mendidik anak-anaknya dengan keras soal kejujuran itu.

“Siapa yang ketahuan berbohong, disuruhnya berpidato di depan rumah dan mengatakan kepada orang yang lewat, `saya tidak boleh bohong!` Mas Tom (Bung Tomo) mengatakan, segala kejahatan bersumber dari kebohongan,” ujar Almarhumah Sulistina.

Bambang Sulistomo mengaku sangat bersyukur bisa memakamkan ibunya di samping pusara ayahnya di Makam Ngagel, Surabaya. “Saya bersyukur sekali, karena Bapak sama Ibu itu benar-benar hampir tidak terpisahkan,” katanya.(den/ipg)

Teks Foto:
– Bung Tomo dan Istri menyambut anak pertama mereka, Tien Sulistami.
Foto: Bung Tomo Suamiku (Sulistina Sutomo,2008)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs