Suko Widodo, Pengajar Komunikasi Politik Universitas Airlangga Surabaya mengusulkan perlunya perubahan undang-undang penyiaran yang lebih partisipatoris.
Sebab, undang-undang yang lama yang mengadopsi regulasi dari luar negeri terbukti telah mengebiri ruang-ruang publik penyiaran.
Pernyataan Suko ini disampaikan ketika dirinya menjawab pertanyaan Soekarwo Gubernur Jawa Timur pada ujian Doktor terbuka di ruang Adi Sukadana Fisip Universitas Airlangga Surabaya, Kamis (7/9/2017).
“Pemeritah juga harus hadir dengan mendonasikan dana maupun kebijakannya kepada ruang-ruang penyiaran. Melalui langkah ini, televisi atau penyiaran publik akan lebih eksis di era liberal seperti saat ini,” ujar Suko.
Ketika ekonomi liberal juga menguasai lembaga-lembaga penyiaran, maka solusi yang harus dilakukan adalah mengubah undang-undang penyiaran yang partisipatoris sehingga lembaga penyiaran benar-benar mampu memanfaatkan frekwensi yang diterimanya untuk kepentingan publik.
Saat memaparkan disertasinya, Suko juga sempat meneteskan air mata teringat pesan Almarhum Prio Aljabbar. “Kalau semua pejabat dan semua orang pintar tidak memikirkan nasib orang-orang bodoh dan termarginalkan, bagaimana nasib negeri ini,” ujarnya menirukan pesan Prio Aljabbar.
Pesan Prio Aljabbar inilah yang membuatnya lebih fokus berkarya pada penyiaran publik, yang dikatakannya ibarat jalan di lorong hening karena tidak banyak doktor mengambil jurusan ini.
Suko Widodo resmi menyandang gelar doktor atas disertasinya berjudul “Kolonisasi Ruang Publik Dalam Penyiaran Publik di Indonesia Studi Kasus Penyiaran Publik Lokal di Jawa Timur (TVRI Jateng dan A-TV Batu)”. Tim penilai memberikan nilai dengan predikat sangat memuaskan, dan ia menjadi doktor ke-21 di Jurusan Ilmu Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unair.
Dalam ujian terbuka ini, selain Soekarwo, juga ada penguji tamu yakni Effendi Gazali. Ujian terbuka kali ini diikuti para tokoh serta guru besar Universitas Airlangga. (fik/rst)