Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (13/12/2017) sore mulai membacakan surat dakwaan Setya Novanto dalam perkara korupsi proyek KTP Elektronik.
Menurut Jaksa KPK, Novanto memperkaya diri sendiri sebanyak 7,3 juta Dollar AS serta mendapat barang mewah berupa jam tangan seharga 135 ribu Dollar AS.
“Terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi dengan total penerimaan uang USD 7,3 juta, dengan penerimaan lainnya berupa jam tangan merek Richard Mille seri RM011 seharga USD 135 ribu,” ucap Irene Putri Jaksa KPK, di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (13/12/2017).
Sebelum proyek KTP Elektronik bergulir, lanjut Irene, dua terdakwa kasus yang sama Irman dan Sugiharto menemui Setya Novanto bersama Diah Anggraeni Sekretaris Jenderal Kemendagri, dan Andi Agustinus alias Andi Narogong, di Hotel Grand Melia, Jakarta.
Pertemuan pada pukul 06.00 WIB itu menginformasikan adanya proyek KTP Elektronik. Irman, Sugiharto dan Diah yang waktu itu masih menjabat di Kementerian Dalam Negeri, lalu meminta dukungan kepada Setya Novanto untuk memuluskan proses pembahasan anggaran di DPR.
Kemudian, Novanto yang menjabat Ketua Fraksi Golkar DPR RI periode 2009-2014, merespon positif dan siap mendukung proyek yang kemudian disahkan dengan anggaran Rp5,9 triliun.
Menindaklanjuti pertemuan di Hotel Gran Melia, beberapa hari kemudian Setya Novanto kembali melakukan pertemuan di ruang kerjanya di Gedung DPR lantai 12, bersama Andi Narogong dan Irman yang saat itu menjabat sebagai Dirjen Dukcapil Kemendagri.
Dalam pertemuan itu, ada pembicaraan soal kepastian kesiapan anggaran untuk pekerjaan penerapan e-KTP.
Andi Narogong bertanya kepada Setnov mengenai kelanjutan anggaran untuk e-KTP di DPR. Andi menilai Irman ragu dalam pengerjaannya lantaran khawatir anggaran tidak akan tercapai.
Sebelum Irman dan Andi pulang, Setnov berpesan kepada Irman untuk menanyakan segala perkembangan pengerjaan e-KTP ditanyakan kepada Andi Narogong.
Dalam dakwaan juga disampaikan kalau Andi Narogong sebagai orang yang memiliki kedekatan dengan mantan ketua Fraksi Golkar itu.
Beberapa hari kemudian dari pertemuan itu, Setnov kembali memanggil Andi Narogong ke ruang kerjanya untuk diperkenalkan dengan Mirwan Amir politisi Partai Demokrat yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar).
Usai diperkenalkan dengan Mirwan, Andi diarahkan untuk membentuk sebuah perusahaan gabungan untuk menentukan harga barang dalam proyek penerapan e-KTP.
Pada akhir April 2010, setelah pergantian Ketua Komisi II, Setya Novanto memperkenalkan Andi Narogong kepada Chairuman Harahap selaku Ketua Komisi II DPR RI di ruang Fraksi Golkar Lantai 12 Gedung DPR sebagai pengusaha yang akan ikut mengerjakan proyek e-KTP.
Usai dikenalkan kepada Chairuman, Andi pun bersedia memberikan jatah 5 persen dari nilai kontrak kepada DPR apabila proses penanggarannya dilancarkan. Dan, proses penganggaran pun mulus.
Andi kemudian berkomunikasi dengan beberapa pengusaha untuk gabung menjadi peserta konsorsium e-KTP. Peserta konsorsium pun diperenalkan Andi kepada Setnov. Salah satunya Johannes Marliem vendor penyedia AFIS merek L-1, Anang Sugiana Sudiharjo selaku Dirut PT Quadra Solution.
Johannes Marliem dan Anang juga sepakat membayar sejumlah uang untuk memberikan jatah kepada Setnov.
Guna melaksanakan kesepakatan tersebut, selanjutnya Johannes Marilem dan Anang Sugiana Sudihardjo mengirimkan uang kepada terdakwa dengan terlebih dahulu disamarkan menggunakan beberapa nomor rekening perusahaan dan money changer baik di dalam maupun di luar negeri.
Uang tersebut selanjutnya diterima oleh Setnov dengan cara dan perincian sebagai berikut:
Diterima melalui Made oka Masagung, mantan komisaris PT Gunung Agung, seluruhnya berjumlah USD 3,8 juta melalui rekening OCBC Center Branch atas nama OEM Investment, PT, Ltd. Kemudian kembali ditransfer sejumlah USD 1,8 juta melalui rekening Delta Energy, di Bank DBS Singapura, dan sejumlah USD 2 juta.
Selain melalui Made, diterima melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, keponakan Setnov, pada tanggal 19 Januari 2012 sampai 19 Februari 2012 seluruhnya berjumlah USD 3,5 juta.
“Sehingga, total uang yang diterima terdakwa baik melalui Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun melalui Made oka Masagung seluruhnya berjumlah USD 7,3 juta,” ucap jaksa.
Atas perbuatannya Setnov didakwa telah melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke satu KUHP. (rid/dwi/ipg)