Sabtu, 23 November 2024
Pertempuran 10 Nopember 1945

Resolusi Jihad Gerakkan Santri dari Berbagai Penjuru Bertempur Melawan Sekutu

Laporan oleh Zumrotul Abidin
Bagikan
Muh Kholid AS Pemimpin Redaksi Majalah Matan yang menurunkan artikel liputan khusus Perang Santri. Foto: Abidin suarasurabaya.net

10 November, tujuh puluh dua tahun yang lalu. Indonesia pernah mengalami sejarah peperangan dahsyat. Perang rakyat di Surabaya yang menolak takluk pada bombardir tentara sekutu (Inggris dan Belanda).

Perang membara yang dilakukan hingga sebulan penuh itu tak bisa lepas dari peran kaum santri (sebutan kaum muslim saat itu, red). Ini dibuktikan dengan pidato Bung Tomo dalam membakar semangat arek-arek Surabaya. Bung Tomo selalu menyelipkan pekik takbir di awal maupun di akhir pidatonya.

“Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh di tangan kita. Sebab, Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!,” teriak Bung Tomo dalam pidato yang disiarkan radio.

Rosdiansyah Alumnus Institut of Social Studies Den Haag, Belanda mengatakan, Bung Tomo sepertinya cukup memahami psikologi massa yang didominasi umat islam. Sebab, perang mempertahan kemerdekaan bagi umat Islam merupakan perang suci atau Jihad fi Sabilillah.

Rosdiansyah mengatakan, dugaan ini semakin dikuatkan dengan terbitnya In Memoriam: Sutomo yang merupakan hasil disertasi William H. Frederick di Cornell University. Dalam disertasi itu disebutkan pilihan pekik takbir yang digunakan Bung Tomo itu sekaligus menarik umat Islam yang belum terlibat dalam peperangan agar segera bergerak.

“Kesimpulan ini diambil setelah Frederick mewancarai langsung Bung Tomo sebelum wafat pada tahun 1981, yaitu antara 1972-1973,” kata Rosdiansyah.

Sementara Solahuddin Wahid (Gus Solah) Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang membenarkan, peran kaum santri begitu dominan dalam perang 10 November. Hingga kemudian KH Hasyim Asyari pada 23 Oktober atas nama PBNU mendaklarasikan seruan Jihad fi Sabilillah yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad.

Menurut Gus Solah, Resolusi jihad yang diserukan kakeknya itu merupakan sebuah pesan motivasi yang ditujukan kepada masyarakat luas agar termotivasi untuk bergerak berperang.

“Waktu itu kita baru merdeka dua bulan. Mungkin rasa kemerdekaan belum terlalu merasuk, dan yang merasuk rasa ke-Islaman. Maka dari itu, mereka terpanggil bertempur dengan Inggris untuk membela negara sekaligus membela agama. Apalagi, kalau mereka gugur akan menjadi syuhadak (Mati Sahid) masuk surga tanpa dihisab,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.

Resolusi Jihad itu dengan cepat menyebar dan membakar semangat seluruh pesantren di Jatim. Pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat belajar tapi berubah menjadi markas strategi pertempuran.

Muh Kholid AS Pemimpin Redaksi (Pemred) Majalah Matan terbitan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim dalam perbincangan dengan suarasurabaya.net mengatakan, pihaknya sempat menurunkan artikel edisi khusus terkait peran kaum santri dalam perang 10 November. Menurut Kholid, perang 10 November adalah momentum bersatunya Umat Islam untuk melawan tentara sekutu secara face to face.

Menurut Kholid para tokoh ormas Islam tidak lagi membedakan ideologi. Hal itu dibuktikan dengan pertemuan para tokoh Islam di Surabaya seperti KH Mas Mansur (Muhammadiyah), KH Abdul Wahab Hasbullah (NU), Bung Tomo, Roeslan Abdul Ghani dan Doel Arnowo mengatur strategi perang pada tanggal 9 November 1945.

Dalam rentang waktu hampir bersamaan, seluruh tokoh umat Islam dari berbagai penjuru Jawa Timur telah bersiap berduyun-duyun menuju Surabaya untuk ikut bertempur.

Selain di Jatim bagian Selatan, para santri dari utara juga bergerak. Tampil sebagai pelapor, kata Kholid saat itu adalah KH Amin dari Tunggul Paciran Lamongan. Ketika mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan misi mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH Amin menggelar rapat darurat dengan para kyai di wilayahnya.

“Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby,” kata Kholid.

Dalam Majalah Matan Edisi November 2008, para kyai juga membawa harta benda untuk modal perang. KH Amin bahkan membawa 100 gram emas untuk biaya perang. Dengan senjata seadanya, para kyai memimpin santri untuk menggempur tentara Inggris.

Kegigihan kaum santri dalam peperangan 10 November ini sempat meluluhkan salah seorang komandan pasukan India yang masuk dalam barisan Inggris. Zia ul Haq komandan pasukan India terenyuh melihat aksi nekat para Kyai dan santri mengacungkan senjata seadanya menghadapi langsung tentara Inggris yang memilik senjata modern.

Zia ul Haq bahkan memutuskan mundur dari barisan Inggris. Mundurnya barisan tentara Zia ul Haq ini tentu menyulitkan Inggris untuk mempersingkat perang.

“Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi dengan baik, makin hari makin teratur. Inggris yang sesumbar bisa menaklukkan Surabaya dalam waktu tiga hari, nyatanya perang 10 November berjalan sebulan, sebelum akhirnya seluruh kota kota jatuh ke tangan Inggris,” katanya.

Kadaruslan (Cak Kadar) Ketua Umum Putera Surabaya (Pusura) semasa hidup pada tahun 2008 pernah bercerita pertempuran 10 November 1945 merupakan peristiwa yang sulit dibedakan sebagai tindakan berani atau bodoh. Hanya bersenjatakan hasil rampasan Jepang dan Bambu Runcing mereka menghadang pasukan pemenang Perang Dunia II yang bersenjata lengkap dan modern.

“Taliduk tali layangan, nyowo situk ilang ilangan,” ucap Cak Kadar menirukan tekat arek Suroboyo saat itu.

Menurut kesaksian Cak Kadar yang ditulis Majalah Matan, setelah para tokoh memutuskan menolak takluk pada ultimatum Inggris, Doel Arnowo ditugasi berkonsultasi ke Jakarta. Dia lalu menelpon Ahmad Soebardjo Menteri Luar Negeri kala itu. Soebardjo menjawab agar rakyat Surabaya menunggu, karena pemerintah sedang berunding dengan Inggris. Lalu Doel Arnowo menelepon Presiden Soekarno. Jawabannya sama.

“Barulah pada telepon ketiga, Soekarno bilang terserah Surabaya,” katanya.

Perang rakyat yang nekat itu benar-benar ada. Banyak para pejuang yang gugur dan rakyat menjadi korban. Hal itulah kemudian pada 10 November dikenang sebagai Hari Pahlawan. (bid/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
35o
Kurs