Sabtu, 23 November 2024

Puisi-Puisi Wiji Tukhul yang Berpengaruh bagi Pergerakan Mahasiswa

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Wiji Tukhul, seniman dan aktivis. Foto: Deutsche Welle

Wiji Tukhul, seniman dan aktivis pergerakan 1998 yang menjadi korban penghilangan paksa bersama 12 aktivis lainnya dikenal, salah satunya, karena puisi-puisinya yang menggugah.

Sardiyoko mantan aktivis yang turut pergerakan mahasiswa pra-1998 bersama Wiji Tukhul mengenang kembali masa-masa perjuangan sebelum era reformasi itu. Ada satu puisi Tukhul yang sangat berkesan di baginya.

Puisi ini seringkali dibacakan dalam banyak aksi demonstrasi pada masa pra reformasi, dan telah bertransformasi menjadi salah satu mars demonstran sampai sekarang.

“Saya paling berkesan dengan puisi yang salah satu isinya menyebutkan, “apa gunanya banyak baca buku.” Isinya sesuai kondisi saat itu,” ujarnya kepada suarasurabaya.net.

Pada masa sebelum reformasi itu, menurut Sardiyoko, masyarakat didera oleh penindasan, penggusuran, dan banyak di antara masyarakat yang menganggur tidak punya pekerjaan.

Sementara, kaum intelektual saat itu sibuk membaca buku tanpa memedulikan kondisi yang ada di sekitarnya. “Itu yang ditangkap oleh Tukhul,” kata Sardiyoko.

Dia yang pada saat itu mahasiswa di Universitas Negeri Airlangga (Unair) merasakan sindirian dalam puisi Wiji Tukhul itu sangat mengena kepada dirinya.

“Pada saat saya mahasiswa, memang sering banyak buku dan lebih sering melupakan kondisi riil di lapangan,” katanya. “Wiji Tukhul tahu betul kondisi itu.”

Melalui puisi berjudul “Apa Guna” itu, Wiji seolah mengingatkan dan mengajak para intelektual, terutama mahasiswa, tidak hanya banyak baca buku tapi turut menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat.

Padahal, Wiji Tukhul, tidak sampai menyelesaikan sekolahnya di salah satu SMKI di Solo karena ketidakmampuan keluarganya untuk membiayai.

Berikut ini petikan puisi Wiji Tukhul yang menurut Sardiyoko sangat berpengaruh bagi dirinya.

APA GUNA

Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
Dengan kaum cukong

Di desa-desa rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah

Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu

Tidak hanya puisi di atas yang sampai saat ini banyak dikutip bahkan menjadi slogan banyak pergerakan dan aksi unjuk rasa di tanah air.

“Hanya Satu Kata: Lawan!” sangat identik dengan Wiji Tukhul.

Kutipan itu adalah bagian dari larik terakhir sajak Wiji Tukhul berjudul “Peringatan” yang dia tulis di Solo pada 1986. Berikut isi lengkapnya.

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!

Wiji Tukhul, meski tidak menamatkan sekolah menengah dikenal karena pemikirannya yang kuat, keberaniannya yang teruji, dan kecerdasannya menyusun kata. Karena puisinya, Tukhul memperoleh beberapa penghargaan.

Wiji Tukhul mendapatkan penghargaan Wertheim Encourage Award (1991) di bidang sastra dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda bersama WS Rendra.

Selain penghargaan itu, Dewan Juri Yap Thiam Hien Award 2002 yang terdiri dari beberapa akademisi bidang sastra, menganugerahkan penghargaan Yap Thiam Hien Award kepada Wiji, setelah menyisihkan sekitar 90-an peserta dan dua nominator.

Sardiyoko sebagai mantan aktivis mengatakan, keteguhan dan keberanian Tukhul bisa menjadi tauladan bagi anak muda Indonesia. Aktivis saat ini, kata dia, perlu mempelajari sejarah secara holistik.

Melalui perjalanan hidup Wiji Tukhul yang telah di-film-kan dalam “Istirahatlah Kata-Kata” pembelajaran sejarah reformasi kini tidak bisa hanya dipusatkan pada 1998.

“Ada masa perjuangan cukup panjang sebelum tahun itu, bahkan di Surabaya. Sejak awal 90-an sampai 1996. Itu masa yang cukup penting dipelajari,” ujarnya.

Di Surabaya, Sardiyoko menjadi bagian dari kelompok mahasiswa yang mendirikan kelompok belajar bernama “Kelompok Belajar Mentari” yang lambat laun bertransformasi menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD).

“Kebebasan informasi melalui perkembangan teknologi informasi ini seharusnya banyak memberikan keuntungan. Tapi tantangannya adalah ketidakacuhan mahasiswa akibat hedonisme,” katanya.(den/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
33o
Kurs