Buku adalah jendela dunia. Tapi bagi pedagang buku di Kampung Ilmu, Jalan Semarang, Surabaya, buku adalah jendela rezeki. Di kompleks toko buku eks pedagang emperan jalan Semarang ini, hampir semua jenis buku ada.
Kampung ilmu pun menjadi jujugan siswa, mahasiswa, hingga akademisi dari berbagai universitas di Surabaya. Tempat ini juga menjadi jujugan para pembeli dari daerah lain di Indonesia Timur.
Tak jarang, pembeli buku ini datang dari kota di pulau lain, misalnya dari Makassar. Mereka datang jauh-jauh ke Surabaya, naik kapal, sehari dua hari jalan di Surabaya, besoknya sudah berada di kapal membawa sejumlah buku untuk dijual lagi di kota asal.
Lantas dari mana buku-buku ini berasal? Budi Santoso, Ketua Paguyuban Kampung Ilmu mengatakan, tentu saja sebagian besar buku dikulak dari penerbit. Baik penerbit nasional maupun lokal.
“Kan, penerbit buku itu banyak. Penerbit lokal juga banyak. Kalau dari penerbit lokal, lebih banyak buku-buku pelajaran sekolah atau buku anak-anak,” katanya kepada suarasurabaya.net, Rabu (12/4/2017).
Selain itu, di Kampung Ilmu ini juga bisa didapati buku-buku langka yang sudah jarang ada di toko buku umumnya. Karena langka, tentu kondisi buku ini pun kadang sudah lusuh.
Tapi jangan salah. Harga jualnya bisa dibilang luar biasa. Misalnya, untuk buku-buku yang ditulis oleh Ir Soekarno, Presiden Pertama Indonesia.
Buku-buku Sokarno berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi,” atau “Sarinah, Kewadjiban Wanita dalam Perdjoeangan Repoeblik Indonesia,” harganya bisa mencapai lebih dari Rp1 juta.
Harganya mahal, selain karena buku itu langka, juga karena kesulitan mendapatkannya. Sebagian pedagang buku di Kampung Ilmu, harus berkeliling ke banyak lokasi, tidak hanya di Surabaya saja, untuk mendapatkan buku-buku itu.
“Jadi, kalau ada lapak di sini yang kayaknya sering tutup. Sebenarnya, pemilik lapaknya lagi keliling cari buku ke timbangan (loakan). Sehari mereka bisa keliling sampai 10 lokasi, sampai ke Krian (Sidoarjo) sana,” katanya.
Mencari buku bekas seperti itu sulit. Budi mengistilahkannya, “jodoh-jodohan.” Kalau belum jodohnya, sudah keliling ke 10 loakan yang lokasinya tidak berdekatan, tidak dapat apa-apa.
“Tapi bisa juga, di lokasi pertama sudah dapat beberapa buku. Kalau ada hasilnya, nanti buku-buku itu dibawa ke sini, dijual lagi ke teman-teman pedagang yang lain,” ujarnya.
Aktivitas seperti itu, berlangsung bahkan sampai hari ini. Budi mengatakan, aktivitas mereka ini juga untuk menyelamatkan buku dari loakan.
Sebab, tidak jarang, buku-buku berkualitas yang dijual ke loakan menjadi bungkus gorengan. Karena itu Budi menyarankan, warga Surabaya menjual buku yang sudah tidak terpakai ke Kampung Ilmu.
“Kami siap membeli dengan harga yang pantas. Daripada masuk timbangan, akhirnya buku itu tidak bisa bermanfaat untuk orang lain,” katanya.
Namun, meskipun harganya mahal, kontribusi buku-buku langka ini terhadap penghasilan rata-rata pedagang di Kampung Ilmu, sangat kecil.
Pedagang tetap menggantungkan penjualan dari buku-buku pelajaran sekolah, novel, atau buku-buku non fiksi di lapak masing-masing.
Tantangan mereka, selain harus bersaing dengan toko buku besar, mereka harus menghadapi tantangan menurunnya minat baca masyarakat Surabaya.
“Sekarang sudah kelihatan. Anak-anak sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain handphone,” ujarnya.(den/dwi/rst)