Air limbah yang tidak diolah dari kota yang digunakan untuk irigasi pertanian di seluruh dunia, membuat sekitar 885 juta jiwa menghadapi risiko penyakit, termasuk diare dan kolera, demikian menurut sebuah penelitian yang dipublikasikan di sebuah jurnal lingkungan, Rabu (5/7/2017).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh tim riset internasional, lahan pertanian di areal seluas 36 juta hektare di seluruh dunia sama dengan luas Jerman dialiri dengan air dari sungai dan danau kotor yang sebelumnya digunakan oleh penduduk kota dengan radius 40 km dari hulu.
Sebanyak 80 persen dari lahan pertanian tersebut yakni 29 juta hektare, berada di negara dengan pengolahan air limbah terbatas seperti China, India, Pakistan, Meksiko dan Iran, demikian dilansir Thomson Reuters Foundation.
Bagian pertama penelitian tersebut menggunakan sistem pemantauan jarak jauh dan informasi geografis (GIS) untuk analisis data, untuk memperkuat penelitian dan juga perkiraan.
Pay Drechsel, satu satu peneliti tersebut mengatakan, limbah yang tidak diolah, meski kemudian dilarutkan, tetap berbahaya untuk kesehatan, baik bagi petani maupun konsumen.
“Di dalam air limbah terdapat banyak kotoran yang berasal dari tinja,” kata Drechsel, ilmuwan dari Institut Manajemen Air Internasional (IWMI) kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon seperti dilansir Antara.
Petani di perkebunan bisa mengalami infeksi kulit akibat terkontaminasi air limbah, sementara konsumen menghadapi risiko menghadapi kontak dengan cacing, diare dan bahkan kolera setelah mengkonsumsi sayuran mentah.
Polusi yang diakibatkan oleh kotoran manusia dan hewan sudah terjadi di hampir satu dari tiga sungai yang ada di Amerika Latin, Asia, dan Afrika.
Menurut data dari PBB, sekitar 3,4 juta orang meninggal setiap tahun akibat penyakit yang disebabkan oleh air yang terkontaminasi kotoran.
Ancaman tersebut semakin besar seiring dengan pertumbuhan penduduk secara global dan pembangunan permukiman informal yang tidak didukung oleh infrastruktur yang baik, terutama di kota-kota yang sedang tumbuh di negara berkembang.
“Selama investasi di bidang pengolahan limbah lebih lambat dibanding pertumbuhan penduduk, maka semakin banyak konsumen hasil pertanian mentah yang terancam,” kata Anne Thebo dari Universitas California, Barkeley.
Pada Maret lalu, ahli dari PBB mengatakan bahwa pemerintah di mana pun harus melihat bahwa pengolahan limbah bukan sebagai masalah biaya, tapi justru sebagai sumber berharga yang bisa digunakan untuk memenuhi permintaan atas semakin tingginya kebutuhan air bersih, energi dan bahan mentah.
Limbah juga mengandung nutrisi seperti fosfor dan nitrat yang bisa diubah menjadi pupuk, sementara lumpur bisa diolah menjadi biogas. (ant/dwi)