Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, menolak seluruh keberatan yang diajukan Miryam S Haryani terdakwa kasus pemberi keterangan palsu dalam persidangan.
Dalam Putusan Sela yang dibacakan Frangky Tambuwun siang hari ini, majelis hakim menyatakan tidak sependapat dengan keberatan Miryam Haryani atas dakwaan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Majelis hakim menilai, argumen yang disampaikan tim pengacara Miryam bahwa kliennya tidak dapat diproses penyidikan sampai penuntutan karena bukan ranah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, merupakan tafsir pribadi yang tidak berdasarkan aturan hukum.
Sebaliknya, majelis hakim menilai dakwaan jaksa penuntut umum sudah memenuhi syarat materiil dan formil, sesuai aturan hukum yang berlaku.
“Mengadili, menolak seluruh keberatan tim penasihat hukum terdakwa Miryam S Haryani. Menyatakan surat dakwaan penuntut umum telah memenuhi syarat formal dan materiil sesuai ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf a dan b KUHAP, dan sah menurut hukum serta dapat digunakan sebagai dasar pemeriksaan dalam perkara ini,” kata Frangky, Senin (7/8/2017), di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Atas penolakan majelis hakim pada eksepsi Miryam, maka persidangan perkara ini akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, pada 14 Agustus 2017.
Seperti diketahui, tanggal 5 April 2017, KPK menetapkan Miryam Haryani sebagai tersangka pemberi keterangan palsu pada persidangan perkara dugaan korupsi KTP Elektronik, dengan terdakwa Irman dan Sugiharto.
Penetapan status itu, karena waktu bersaksi di Pengadilan Tipikor, Miryam membantah semua keterangan yang tercatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP), dengan alasan mendapat tekanan dari Penyidik KPK.
Padahal, sebelumnya dia memberikan keterangan detail soal penerimaan uang dari pihak Kementerian Dalam Negeri dan pihak swasta, yang kemudian dibagikan ke sejumlah anggota DPR periode 2009-2014.
Atas perbuatan yang disangkakan, Miryam Haryani dijerat dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 KUHP, dengan ancaman hukuman 3 sampai 12 tahun penjara. (rid/bid/rst)