Jaksa Penuntut Umum dari Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), mendakwa Miryam S Haryani sebagai pemberi keterangan palsu pada persidangan kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik.
Dakwaan itu dibacakan Kresno Anto Wibowo Ketua Tim Jaksa, pada sidang perdana yang digelar Kamis (13/7/2017) pagi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Pusat.
Menurut jaksa penuntut, Miryam sudah dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, waktu bersaksi di persidangan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, Kamis (23/3/2017) dan (30/3/2017), di Pengadilan Tipikor.
“Sebagai saksi di persidangan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, terdakwa (Miryam) dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar, dengan cara mencabut semua keterangan dalam BAP yang antara lain menerangkan soal penerimaan uang dari Irman dan Sugiharto, dengan alasan ditekan dan diancam tiga orang Penyidik KPK,” ujar Kresno di Gedung Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (13/7/2017).
Atas dakwaan itu, Miryam Haryani menyatakan keberatan dan akan mengajukan eksepsi pada sidang lanjutan yang diagendakan digelar hari Selasa (18/7/2017).
Sekadar diketahui, KPK menetapkan Miryam Haryani sebagai tersangka pemberi keterangan palsu, pada tanggal 5 April 2017.
Penetapan status tersangka itu karena waktu bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Miryam membantah semua keterangan yang tercatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP), dengan alasan mendapat tekanan dari Penyidik KPK.
Padahal, dia memberikan keterangan detail soal penerimaan uang dari pihak Kementerian Dalam Negeri dan swasta, yang kemudian dibagikan ke sejumlah anggota DPR periode 2009-2014.
Miryam melalui pengacaranya sempat menggugat praperadilan KPK atas penetapan status tersangka ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi, pada 24 Mei 2017, gugatan itu ditolak hakim.
Miryam juga sempat menjadi buronan dan masuk daftar pencarian orang Polri serta Interpol, karena tidak diketahui keberadaannya waktu mau diperiksa KPK.
Atas perbuatannya itu, Miryam Haryani dijerat dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 KUHP, dengan ancaman hukuman 3 sampai 12 tahun penjara. (rid/ipg)