Muhadjir Effendy Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) mengaku sudah menerima 199 laporan pungli berkaitan penerimaan anak didik baru. Tapi setelah diklarifikasi oleh inspektorat Jendral Kemdikbud, yang murni pungli hanya 10 kasus. Terbanyak, memungut sumbangan di luar ketentuan.
“Sepuluh kasus pungli itu seluruhnya terjadi di daerah. Diantarnya Bandung dan Papua,” kata Mendikbud dalam jumpa pers setelah penandatanganan kerjasama dengan KPK, di Kantor Kemdikbud, Kamis (3/8/2017).
Menurut Mendikbud kasusnya memang ada, karena kejadiannya di daerah Kemdikbud tidak mempunyai kewenangan menjangkaunya.
Berdasarkan peraturan otonomi daerah, kalau Pungli terjadi di daerah, maka hal ini akan menjadi kewengan kepala daerah yang menindaknya.
Menurut Muhadjir, Kemdikbud bukannya mau cuci tangan, tapi mekanisme penangannya memang begitu. Berbeda lagi kalau Pungli itu terjadi di lingkungan Kemdikbud, mentri bisa bertindak langsung.
“Mekanisme penangan kalau terjadi Pungli di daerah,” kata dia, “memang banyak yang tidak tahu. Setiap persolan pendidikan, dianggap sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kemdikbud.”
Menurutnya, masyarakat harus tahu, persoalan pendidikan di daerah berada di bawah kewenangan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan status kepegawaiannya di bawah gubernur, bupati dan wali kota.
Karena banyak yang tidak tahu mekanisme penangannya, kata Muhadjir, setiap kejadian yang menyangkut dunia pendidikan maka yang akan disalahkan adalah Kemdikbud.
“Juga soal anggaran pendidikan 20 persen. Orang beranggapan Kemdikbud kaya raya. Dari 20 persen itu alokasi terbesar untuk pendidikan di lingkungan kementrian agama. Kemdikbud cuma keduman Rp35 triliun,” katanya.
Kerjasama dengan KPK, menurut Muhadjir, adalah upaya Kemdikbud untuk meningkatkan pelayanan masyarakat. Selain itu, dengan menggandeng KPK, dia Mendikbud berharap Kemdikbud dapat mengelola anggaran dengan lebih baik dan transparan.(jos/den