Bangunan di Jalan Mawar Nomor 10 Surabaya itu kini sudah diratakan tanah oleh PT Jayanata Kosmetika Prima. Padahal, bangunan cagar budaya itu saksi sejarah perjuangan pemuda Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI).
Bung Tomo sebagai komandan BPRI, pernah menjadikan rumah itu sebagai markas perjuangan setelah rumahnya di Jalan Tembok Dukuh dia anggap tidak lagi aman dari serangan pasukan Inggris dan Belanda.
Almarhumah Sulistina Sutomo di buku memoarnya, Bung Tomo Suamiku (2008) menceritakan hal ini. Sulistina yang saat itu Anggota PMI Malang turut berjuang di Surabaya dan bermarkas di Tembok Dukuh.
Saat pertemuan pertama mereka, Bung Tomo berkata kepada Sulistina, markas harus dipindah ke Jalan Mawar yang juga menjadi lokasi Radio BPRI, tempat Bung Tomo menggelorakan semangat juang arek-arek Suroboyo.
Suatu pagi ada seorang pemuda menghampiriku. Matanya itu, aku takkan lupa. Ia mengenakan setelan dril ala Jepang, dengan peci hijau tua yang disemati emblem banteng merah putih. Kumisnya rapi seperti kumis Errol Flinn, bintang film Amerika terkenal pada masa itu.
“Jeng, kita pindah markas. Kita mundur ke Jalan Mawar. Di sini tidak aman lagi. Dan keadaan bertambah gawat, Palang Merah juga harus pindah,” ucapnya kalem. Matanya seperti menancap di mataku. Entah mengapa hatiku bergetar (hlm.13).
Di Jalan Mawar Nomor 10 itulah pejuang BPRI bermarkas. Di lokasi itu terdapat pemancar radio BPRI untuk menyiarkan berbagai informasi termasuk siaran bung tomo yang menggelorakan semangat pejuang.
Kami pindah ke Jalan Mawar. Di rumah yang lumayan besar itu sudah ada zender (pemancar) radio BPRI, tempat Bung Tomo menggelegarkan suaranya membangkitkan semangat juang merebut kemerdekaan. Siaran radio itu tertangkap juga di Australia dan Amerika.
Di markas baru itu aku berkenalan dengan seorang wanita berkulit putih. Dia menyebut namanya Ktut Tantri. Dia yang menyiarkan berita-berita perjuangan ke seluruh dunia dalam bahasa Inggris.
Pertempuran semakin menghebat Mortir terus berjatuhan. Pasukan sekutu dengan tulang punggung pasukan Inggris yang sudah berpengalaman dalam Perang Dunia ke II, dan didukung di belakangnya oleh tentara Belanda, membabi buta menghantam Surabaya.
Semakin banyak laskar yang jadi korban, luka, dan gugur berbaur dengan rakyat yang tidak berdosa. Darah tercecer di mana-mana. Mayat bergelimpangan. Bau anyir darah pun menusuk hidung (Bung Tomo Suamiku. (2008). Hlm.14).
Bambang Sulistomo, putra kedua Bung Tomo dan Sulistina Sutomo mengatakan, suatu kali, sebelum ibunya meninggal, pernah mengajaknya mengunjungi rumah itu.
“Ibu mengajak saya ke kamar Bapak dulu. Tempatnya ya memang di nomor 10 itu, bukan di nomor 12,” ujarnya kepada suarasurabaya.net. Ibunya, kata Bambang, mengaku memiliki banyak kenangan semasa perjuangan 10 November di rumah itu.
Rumah radio Bung Tomo itu memang menjadi markasnya para pejuang. Di rumah itu pula kengerian terjadi ketika pesawat penjajah lewat di atas rumah itu meluncurkan mortir, sehingga para pejuang BPRI harus berpindah markas lagi di tempat lain.
Pada saat itu kapal terbang bercocor merah melayang-layang di atas markas. Kali ini ada komando, “Berlinduuung…” Kami semua berhamburan keluar gedung mencari perlindungan.
Aku bersembunyi di bawah rumpun pohon pisang. Juga kawanku yang bibirnya tidak hentinya berdoa. Dia mendapatkan rapalan doa dari seorang kyai yang sudah tua, dari Kediri dan doanya dipercaya makbul. Beliau adalah anggota Pasukan Kyai dari BPRI.
Bom, peluru, dan mortir tidak jatuh di tempat kami bersembunyi, tetapi melesat jauh. Tampaknya Zender Jalan Mawar sudah ketahuan musuh (Bung Tomo Suamiku. (2008). Hlm.15-16).
Rumah itu telah hancur. Kepada Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya, saat Risma berkunjung ke kediaman Sulistina Sutomo di Jakarta, istri Bung Tomo itu sempat meminta agar rumah itu dibangun kembali.
Tapi sampai sekarang, Pemkot Surabaya berdalih tidak menemukan desain asli bangunan itu dan menyetujui desain yang diajukan Jayanata, yang sudah “diupayakan semirip aslinya.”
“Gambar bangunan itu kan sebenarnya bisa dicari. Pasti ada di dinas Cipta Karya. Pas saya ketemu sama Bu Risma, saya sempat nagih soal jalan mawar 10 itu. Bu Risma bilang, kata yang beli rumah itu (Jayanata), rumah itu sudah keropos akhirnya dibongkar. Aku bilang, enggak Bu, Ibu informasinya salah. Itu rumah utuh, masih kuat kok dibongkar. Kan cagar budaya juga,” ujar Bambang Sulistomo.
Senada dengan tuntutan Komunitas Bambu Runcing Surabaya (KBRS), yang menggugat Jayanata dan Risma tentang penghancuran Radio Bung Tomo ke Pengadilan Negeri Surabaya, Bambang Sulistomo berharap agar rumah itu dikelola oleh Pemkot Surabaya untuk kepentingan umum.
“Bukan dikembalikan ke Jayanata, sebagai omahe anake (rumah anaknya), sebagai kafe atau apalah, bukan! (Rumah) itu kan bisa dibeli, harganya tidak seberapa dibandingkan dengan nilai sejarahnya,” ujarnya.
Bambang berharap, rumah itu bisa dijadikan museum perjuangan arek-arek Suroboyo. Bisa juga dibuat sebagai perpustakaan umum sekaligus tempat diskusi, seminar, atau kegiatan publik lainnya.
“Atau bisa juga, buat lembaga kajian kepahlawanan yang berpusat di situ, nanti teman dari daerah lain bisa berkumpul di situ. Seperti Guest House. Nah itu kan bisa bermanfaat bagi warga di Kota Pahlawan, yang penting difungsikan sebagai kepentingan umum,” katanya.
Dengan cara seperti itu, kasus perobohan bangunan bersejarah Radio Bung Tomo, menurutnya bisa diselesaikan tanpa melalui jalur hukum atau pengadilan.
“Bayangkan, Kota Pahlawan tanpa cagar budaya, tanpa markas pertempuran Arek-Arek Suroboyo, apa artinya? Enggak ada artinya. Mosok markase (masak markasnya) Arek-Arek Suroboyo sebagai cagar budaya, dihancurkan begitu saja,” ujarnya.
Kini, Rumah Radio Bung Tomo tinggal dibangun kembali. Tapi Pemkot Surabaya sepertinya tidak akan menjadikan lokasi itu sebagai lokasi publik seperti yang diharapkan oleh KBRS dan Bambang Sulistomo.
Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya beberapa waktu lalu mengatakan, lebih memilih untuk mencari rumah kelahiran Bung Tomo di Jalan Tembok Dukuh yang juga sempat menjadi markas BPRI sebelum pindah ke Jalan Mawar.
Tapi sepertinya, pencarian rumah atau lokasi rumah itu akan musykil. “Bu Risma bilang soal itu, katanya, kami mau nyari rumah kelahiran Bung Tomo mau kami jadikan cagar budaya,” kata Bambang.
Bambang mengatakan, dia pernah berupaya mencari rumah kelahiran Bung Tomo di Jalan Tembok Dukuh, tapi kesulitan. Dia juga menyatakan hal ini kepada Risma.
Bambang mengakui, dia sendiri tidak pernah mengalami tinggal di rumah kakek dan neneknya di Surabaya. Bambang lahir di Malang dan besar di rumah ibunya di Jalan Ijen Malang, lalu pindah ke Jakarta.
“Saya pernah nyari susah karena enggak punya narasumbernya. Ya, mungkin Bu Risma mau nyari rumah itu. Mudah-mudahan aja ketemu,” ujarnya.(den/rst)