Sobridin bin Sobiruddin –lebih akrab disapa Hobri– hanya seorang bujang lapuk yang hidupnya luntang lantung tak keruan lantaran berhenti sekolah di bangku kelas 2 SMP dan diusir dari rumah oleh adiknya sendiri, Azizah, karena terjebak dalam persekongkolan komplotan pencuri kelas kampung.
Di antara keseharian kerja serabutan di pasar, Hobri mendapati cintanya kepada Dinda, seorang perempuan yang ditemukannya dalam kerumunan penonton pertandingan bola voli antara karyawan PN Timah melawan Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, bergayung sambut beriringan delima-delima yang diserahkan.
Hasratnya untuk mencari kerja yang pantas demi mematutkan diri di mata sang Ayah –di antara pencapaian berkecukupan tiga orang abangnya– dan tentu saja untuk mewujudkan mimpinya memperistri Dinda dengan layak selalu berbenturan dengan kalimat “SMA atau sederajat”.
Sampai suatu hari, adik ipar Hobri –Suruhudin– yang iba dengan Hobri yang kadung akrab menggelandang di pasar menawari sebuah lowongan pekerjaan misterius. Kabar dari si adik ipar rupanya menjadi pengantar Hobri menuju kesadaran akan panggilan hidupnya, menjadi badut sirkus.
Sementara sirkus keliling itu menjadi penyambung mimpi Hobri memperistri Dinda, mandor di rumah atraksi hiburan itu rupanya adalah tokoh utama dalam lakon kasmaran lain antara Layang-Layang dan Pembela.
Pembela adalah alasan Layang-Layang untuk menggeluti bakat seni yang dituruni dari ibunya, sementara Layang-Layang menjadi penopang cita-cita Pembela untuk menjadi petani vanili.
Layang-Layang adalah Tara. Pembela adalah Tegar. Keduanya bertemu dalam adegan klise bocah lelaki yang melindungi bocah perempuan di sebuah taman bermain di kantor pengadilan agama di antara hiruk pikuk perceraian orang tua masing-masing.
Romansa Tara dan Tegar ibarat dua utas benang yang bersilangan di satu titik untuk kemudian meliuk-liuk mendekat hanya demi ketidaksadaran akan persinggungan hingga sekian lama.
Sementara itu, Hobri beberapa kali berurusan dengan polisi dan harus mendatangi Polsek Belantik, musababnya tak jauh dari kawan karib kecilnya, Taripol, dan pohon delima yang tumbuh di pekarangan rumah miliknya sendiri.
“Sirkus Pohon” karya Andrea Hirata menjadi cerita panjang tentang hidup di sekitar Hobri dan orang-orang yang bersentuhan dengannya semenjak ia memenuhi panggilan jiwanya sebagai badut sirkus.
Atraksi kehidupan
“Sirkus Pohon” merupakan buku ke-10 Andrea yang resmi diluncurkan pada 15 Agustus 2017 lalu, 12 tahun jaraknya setelah ia menerbitkan novel perdananya “Laskar Pelangi” (2005) yang menjadi pembuka dari tetralogi Laskar Pelangi.
Satu setengah windu merupakan jarak yang jauh memang, sementara “Laskar Pelangi” (2005) dibuka dengan narasi kelam bayang-bayang sebuah sekolah yang terancam bubar karena kekurangan murid tahun ajaran baru, “Sirkus Pohon” dibuka dengan kemarahan yang disampaikan jenaka.
Kemarahan yang berserakan tentang sebatang pohon sebelum perlahan-lahan hingga bab kedelapan baru terwakilkan potongan lain dari frasa yang dipercaya menjadi judul novel tersebut, sirkus.
Andrea gemar bermain-main dengan tutur jenaka yang menyelipkan kata gaul Melayu –atau setidaknya gaul di antara masyarakat Belitong– demi membawa pembaca masuk ke perkampungan Ketumbi yang katanya tak tercantum dalam peta NKRI.
Pintar pula Andrea memainkan emosi pembaca dari narasi kesedihan yang mendayu-dayu menjadi gelak tawa yang tak mampu ditahan dalam adegan Hobri pindah ke rumah. Salah satu humor yang begitu cerdas.
Sementara dalam beberapa bagian, adegan sahut-sahutan dialog antara para tokoh di dalam “Sirkus Pohon” tak ubahnya seperti tengah mendengarkan babak lawakan dalam sebuah lakon Tarling Sandiwara Cirebon.
Perkara sirkus dalam makna literal disampaikan Andrea dalam dua pertiga awal cerita sebelum menjelma menjadi makna figuratif di sisa cerita. Bagaimana pohon delima seolah menggeser posisi Hobri sebagai tokoh utama cerita “Sirkus Pohon” –atau jangan-jangan memang tokoh utamanya memang pohon delima– dan mempengaruhi kehidupan Hobri dan orang-orang di sekitarnya.
“Sirkus Pohon” lantas terpapar menjadi sebuah lakon sirkus dalam bingkai kehidupan secara umum, dihiasi aksi-aksi para tokoh yang namanya tersebut di dalam cerita tersebut. Sebab dari aksi menjadi atraksi hanya terpaut tiga huruf yang mengubah maknanya.
Pohon delima dalam hal ini lebih berhak menyandang peran sebagai tiga huruf tersebut ketimbang Hobri. Pohon delima membubuhkan huruf A, T dan R di hadapan aksi-aksi para lakon “Sirkus Pohon”.
Satu hal lain yang musti dicatat, bahwa “Sirkus Pohon” diceritakan dari sudut pandang Hobri, bujang lapuk yang hanya bersekolah hingga kelas 2 SMP namun begitu lancar melafalkan kata-kata klise berbahasa Inggris seperti hopeless romantic atau bahkan berargumen tentang status ningrat delima yang diabadikan menjadi nama kota Granada di Spanyol sana.
Tentu saja, anda boleh menilai sendiri bagaimana cerita “Sirkus Pohon”. Sebab, menukil bos Hobri di sirkus keliling yang juga ibunda Tara, “Orang-orang yang berkata tentang diri mereka sendiri, melebih-lebihkan, orang-orang yang berkata tentang orang lain, mengurang-ngurangi.”(ant/iss/ipg)