Sekarang ini media-media mainstream harus bisa menjawab keraguan di masyarakat yang sedang dalam euforia menggunakan media sosial. Demikian pendapat Rachma Ida Ketua Prodi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya yang disampaikan pada Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day (WPFD), Rabu (3/5/2017).
WPFD tahun ini mengangkat tema “Critical Minds for Critical Times: Medias Role in Advancing Peaceful, Just, and Inclusive Society”. Tema inklusifitas jurnalisme, kata Ida, dipilih karena mereka melihat euforia dan industri kreatif di Indonesia serta teknologi informasi yang sudah luar biasa.
Tema tersebut menutut industri pers mengeluarkan inovasi-inovasi baru dan revitalisasi. Sifat kontrol pers sekarang sudah tidak banyak berfungsi sehingga masyarakat sedikit demi sedikit tidak percaya pada pers. Problem ini tidak hanya di Indonesia. Ini tantangan pada masyarakat yang lebih mendahulukan kelompoknya masing-masing.
Pada masa kritis seperti ini, masyarakat mengalihkan konsumsi media dari pers ke media sosial sehingga pers sulit mendapat akses seperti dulu. Bersamaan dengan itu, kelompok-kelompok lain, pemerintah dan aparatur juga punya kepentingan yang lain. Peran kontrol sosial dan politik tidak bisa seperti dulu. “Pers kita harus lebih kreatif dan berpikir kritis di masa kritis. Kalau pers masih bekerja pada tatanan konvesional jelas akan tergusur,” ujarnya.
Pers di Indonesia sangat banyak. Namun bisnis telah menjadi filter bagi media pers itu sendiri. Kalau modal tidak kuat, tetap dia akan lemah. “Kalau ada penguasa media yang punya beberapa media ya tidak apa-apa. Pers Indonesia jangan hanya jadi kompor tapi juga harus punya fungsi seperti dulu yang mampu mewadahi perbedaan-perbedaan,” katanya.
Masyarakat sudah melihat banyak media yang sudah dikooptasi oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Sehingga sekarang lebih percaya pada kelompoknya sendiri atau teman-temannya sendiri dibanding media partisan.
Sebenarnya kebebasan pers itu harus lepas dari kepentingan-kepentingan. Sebaliknya, pers boleh dependent selama dia mendeklarasikan bahwa dia berpihak pada kelompok tertentu. Sehingga masya bisa memilih.
“Pertanyaannya, bagaimana pers bisa hidup di tengah himpitan ekonomi dan serbuan kepentingan-kepentingan kelompok,” tanya Ida.
Ida berharap pers tidak bermain dalam krisis politik dan persoalan SARA karena kenyataannya pers itu mampu menjadi pemicu atau kompor dari perseteruan, juga bisa membantu masyarakat lebih maju, damai, dan seterusnya.(iss/ipg)