Miryam S Haryani terdakwa pemberi keterangan palsu pada persidangan kasus dugaan korupsi proyek KTP Elektronik, hari ini menyampaikan nota keberatan (eksepsi) atas tuntutan jaksa, di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Eksepsi Miryam dibacakan tim pengacaranya, pada persidangan yang dipimpin Frangky Tambuwun selaku Ketua Majelis Hakim.
“Pertama, perbuatan yang didakwakan jaksa penuntut umum berada di luar jangkauan atau berada di luar jurisdiksi UU Tipikor, akan tetapi yurisdiksi pidana umum,” ujar Heru Andeska pengacara Miryam di Ruang Sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (24/7/2017).
Sehubungan dengan itu, lanjut Heru, tindak pidana yang disangkakan dan didakwakan jaksa kepada terdakwa Miryam S Haryani tidak dapat diproses dalam semua tingkat pemeriksaan mulai penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Akibat hukum yang melekat dalam kasus ini, hak jakss menuntut terdakwa Miryam dalam perkara ini gugur demi hukum.
“Oleh karena itu, kami meminta majelis hakim untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan gugur hak jaksa melakukan penuntutan dalam perkara ini atau demi hukum peristiwa pidana yang didakwakan tidak dapat dituntut,” imbuhnya.
Dengan kata lain, tim pengacara Miryam minta majelis hakim memeriksa dan mengadili perkara ini menerima eksepsi terdakwa Miryam.
Heru juga meminta majelis hakim untuk membebaskan terdakwa Miryam karena tidak terbukti bersalah. Selain itu, memulihkan nama baik terdakwa Miryam.
“Kami mohon majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan. Memulihkan nama baik terdakwa pada keadaan semula,” pintanya.
Atas eksepsi pihak terdakwa, tim jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan merespon pada sidang lanjutan yang dijadwalkan digelar hari Senin (31/7/2017).
Seperti diketahui, KPK menetapkan Miryam Haryani sebagai tersangka pemberi keterangan palsu, pada tanggal 5 April 2017.
Penetapan status tersangka itu dilakukan karena waktu bersaksi di Pengadilan Tipikor, Miryam membantah semua keterangan yang tercatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP), dengan alasan mendapat tekanan dari Penyidik KPK.
Padahal, sebelumnya dia memberikan keterangan detail soal penerimaan uang dari pihak Kementerian Dalam Negeri dan pihak swasta, yang kemudian dibagikan ke sejumlah anggota DPR periode 2009-2014.
Tidak terima ditetapkan sebagai tersangka, Miryam melalui pengacaranya sempat menggugat praperadilan KPK atas penetapan status tersangkanya, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi, pada 24 Mei 2017, gugatan itu ditolak.
Miryam juga sempat masuk daftar pencarian orang (DPO) Polri serta Interpol, karena tidak diketahui keberadaannya waktu akan diperiksa KPK.
Atas perbuatannya itu, Miryam Haryani dijerat dengan Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 64 KUHP, dengan ancaman hukuman 3 sampai 12 tahun penjara. (rid/bid)