Dalam sidang lanjutan kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Gubernur DKI, Muhammad Rizieq Shihab hadir sebagai saksi.
Pemimpin ormas Front Pembela Islam (FPI), hari ini dihadirkan jaksa penuntut umum, sebagai saksi ahli agama.
Dalam persidangan yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIB, tim penasihat hukum Ahok sama sekali tidak mengajukan pertanyaan kepada Rizieq Shihab.
Kata Humprey Djemat pengacara Ahok, sikap itu adalah bentuk penolakan terhadap sosok Habib Rizieq, yang dinilai tidak objektif dalam memberikan keterangan.
Selain itu, kubu Ahok menilai Imam Besar FPI banyak mengungkapkan fakta, yang seharusnya tidak disampaikan seorang saksi ahli.
Keberatan bertambah waktu Rizieq Shihab memberikan rekaman video yang disebut sebagai bukti tambahan kepada majelis hakim, dan meminta terdakwa segera ditahan.
“Yang dikemukakan Muhammad Rizieq Shihab di persidangan sebagian besar fakta, contohnya tadi memberikan bukti tambahan rekaman video wawancara dengan TV Al Jazeera, dan bilang kalau Pak Ahok mengulangi perbuatannya. Kemudian, saksi juga meminta majelis hakim menahan terdakwa. Bagaimana bisa saksi ahli tapi berkepentingan dalam perkara?” katanya di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (28/2/2017).
Humprey menambahkan, Rizieq Shihab tidak layak jadi saksi ahli dalam kasus ini, karena punya sentimen pribadi dengan Basuki Tjahaja Purnama.
“Sudah jadi rahasia umum kalau Pak Rizieq Shihab sangat membenci Pak Ahok, bahkan sudah terjadi sebelum ada kasus Al Maidah 51. Dari tahun 2015, FPI terang-terangan menolak Pak Ahok sebagai Gubernur DKI,” ujarnya.
Sesudah sekitar dua jam memberikan kesaksian, Rizieq Shihab mengatakan, keterangannya dalam persidangan, tidak ada urusan pribadi dengan Ahok.
Menurutnya, proses hukum yang berlangsung adalah urusan pidana, antara Ahok dengan negara.
Seperti diketahui, kasus dugaan penodaan agama ini dipicu ucapan Ahok soal Surat Al Maidah ayat 51, waktu pidato di Kepulauan Seribu, 27 September 2016.
Dalam perkara ini, Ahok didakwa dua pasal alternatif, yaitu Pasal 156a KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara, dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara. (rid/iss/ipg)