Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih berupaya mengusut kasus dugaan suap dalam proses pembahasan APBD, yang melibatkan oknum Kepala Dinas, pihak swasta dan Ketua DPRD Kota Malang.
KPK mengagendakan pemeriksaan terhadap tiga orang yang diduga mengetahui atau bahkan terlibat dalam proses pembahasan anggaran, Selasa (22/8/2017).
Selain Mochamad Arief Wicaksono Ketua DPRD Kota Malang (nonaktif), Penyidik KPK juga kembali memanggil Mochamad Anton Wali Kota Malang dan Slamet Anggota DPRD Kota Malang.
Sekitar pukul 10.15 WIB, Wali Kota Malang dan Ketua DPRD Kota Malang (nonaktif) terpantau sudah hadir di Gedung KPK, Jakarta Selatan.
Sebelumnya, tanggal 14 Agustus 2017, Wali Kota Malang juga memenuhi panggilan KPK sebagai saksi dari Mochamad Arief Wicaksono.
Dan kemarin, KPK memanggil enam orang Anggota DPRD Kota Malang untuk dimintai keterangannya terkait indikasi suap dalam pembahasan APBD Kota Malang tahun 2015, yang diduga melibatkan Kepala Dinas PU dan Ketua DPRD Kota Malang.
Febri Diansyah Juru Bicara KPK mengatakan, dalam rangkaian pemeriksaan yang dilakukan dua pekan ini, pihaknya masih mendalami soal aliran dana serta proses pembahasan dan persetujuan APBD Kota Malang.
Seperti diketahui, Jumat (11/8/2017) KPK mengumumkan penetapan status Mochamad Arief Wicaksono Ketua DPRD Kota Malang sebagai tersangka dalam dua kasus dugaan korupsi.
Kasus pertama, dia disangka menerima suap Rp700 juta dari Jarot Edy Sulistyono Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Malang yang sekarang sudah berstatus tersangka.
Uang suap itu diduga terkait pembahasan APBD Perubahan Kota Malang, tahun anggaran 2015.
Sedangkan kasus kedua, Ketua DPRD Kota Malang diduga menerima hadiah atau janji berupa uang Rp250 juta, dari Hendrawan Maruszaman Komisaris PT ENK yang juga sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Pemberian itu diduga terkait proses penganggaran kembali proyek pembangunan Jembatan Kedung Kandang senilai Rp98 miliar, dalam APBD Kota Malang tahun anggaran 2016.
Sebagai pihak yang diduga menerima suap, Mochamad Arief Wicaksono disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b, atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tipikor, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Atas perbuatannya itu, dia terancam pidana penjara seumur hidup, atau pidana paling singkat 4 tahun, dan paling lama 20 tahun penjara. (rid/dwi)