Jelang vonis kasus pelepasan aset PT Panca Wira Usaha (PWU) di Kediri dan Tulungagung, penasehat hukum Dahlan Iskan masih tetap bersikukuh dengan isi pledoi (pembelaan) yang sudah disampaikan. Sedangkan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga tetap ngotot pada surat dakwaan, keterangan saksi di persidangan dan replik.
Agus Dwi Warsono, salah satu penasehat hukum Dahlan Iskan mengungkapkan, ketidak kekonsistenan JPU dalam merekontruksi surat tuntutan karena tidak didasari fakta-fakta yang ada selama proses persidangan berjalan dan fakta hukum.
“Dalam duplik ini kita juga menegaskan. Bahwa di persidangan, Oepojo Sardjono menyampaikan kalau Sam Santoso itu sudah kenal cukup lama dengan Wisnu Wardhana,” kata Agus Dwi Warsono, setelah menjalani persidangan dengan agenda pembacaan duplik (tanggapan jawaban jaksa) di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (18/4/2017).
Terkait bukti kuintansi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum bahwa yang menerima uang dari Sam Santoso adalah Dahlan Iskan. Menurut dia, faktanya, dari Sam Santoso diberikan ke Wisnu, setelah itu diberikan ke Suwardi. Selanjutnya, Suwardi yang membuat tanda terima untuk obyek di Kediri.
Sedangkan obyek Tulungagung, yang menerima Wisnu Wardhana yang memberikan adalah Sam Santoso. Fakta tersebut ada di persidangan, tapi diabaikan oleh jaksa. Apalagi, jaksa juga beranggapan ada kongkalingkong mengenai harga sebelum ada penjualan atau pelepasan aset.
“Seolah-olah Pak Dahlan Iskan ini yang membuat kebijakan diposisikan sebagai pelaksana kegiatan yang mengkoordinasir segala sesuatu sehingga bisa terjadinya suatu perbuatan pidana. padahal itu semuanya di persidangan banyak tidak ditemukan faktanya,” ujar dia.
Mengenai duplik yang disampaikan penasehat terdakwa, Jaksa Penuntut Umum juga tetap ngotot pada pendiriannya. Tetap menolak semua isi pledoi dan duplik, baik yang dikatakan penasehat hukum maupun terdakwa. Karena, apapun yang terjadi di dalam teori hukum di negara kita ini, siapapun yang melakukan pidana harus dijatuhi hukuman setimpal.
“Tidak ada alasan pembenar, tidak ada alasan pemaaf dengan berbagai teori yang disampaikan oleh terdakwa maupun penasehat hukum. Karena, sesuai dengan faktanya sudah jelas, Perda Nomor 5 Tahun 1999, tentang Pembentukan PWU itu sampai sekarang tidak dianulir, tidak dihapus dan masih berlaku, itulah hukum,” ujarnya.
Poin lainnya, kata Trimo, berhubungan dengan kebijakan mendelegasikan panitia penjualan yang bertanggungjawab. Hal ini dihargainya. Namun, sesuai dengan Pasal 55 ayat 1 KUH Pidana, masalah pidana mengenai penjualan aset PT PWU di Kediri dan Tulungagung itu sudah jelas.
“Bahwa ini memang ada serangkaian, dilakukan baik direktur utama maupun pelaksana penjual aset di lapangan. Buktinya apa? Faktanya sebelum dilakukan penjualan untuk lelang, sudah ditandatangani terlebih dahulu oleh terdakwa,” ujar dia.
“Ini sudah ada pertemuan, ini fakta hukum yang tidak bisa dibantah dan diabaikan. Karena semuanya itu ada dalam berkas, mulai tanggal masuk uang, setelah itu ada uang masuk lagi. Padahal, saat pembayaran itu waktu masih masa-masa dalam proses lelang,” tambahnya. (bry/iss/ipg)