Nila F Moeloek Menteri Kesehatan menyayangkan masih ada sejumlah gerakan di masyarakat yang menolak untuk memvaksinasi anaknya.
Data yang dihimpun Kementerian Kesehatan menunjukkan, sebagian besar penderita difteri belum pernah mendapatkan vaksinasi.
“Sebab itu kejadian luar biasa (KLB) difteri di Indonesia, saya tidak ada alasan bagi masyarakat menolak imunisasi sebagai langkah penanganan,” kata Menkes kepada wartawan di Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan RI menyebutkan, hingga November 2017 lalu ada 95 kabupaten/kota dari 20 provinsi di Indonesia yang melaporkan 622 kasus difteri dan 32 orang di antaranya meninggal.
Ini merupakan angka yang sangat fantastis untuk kasus penyakit difteri. Apabila telah ditemukan satu orang penderita saja maka sudah dapat dikategorikan sebagai KLB dikarenakan rentang penyebarannya yang sangat cepat dan mematikan.
Menurut Menkes, status KLB merupakan respon darurat yang diberikan oleh pemerintah dalam mengklarifikasi dan menanggulangi wabah penyakit baik menular maupun tidak menular dalam kurun waktu tertentu.
Penelitian yang dilakukan Kementerian Kesehatan menyebutkan, 60 persen antibodi terhadap penyakit difteri pada anak-anak usia di bawah empat tahun itu masih rendah.
Sementara anak usia di atasnya memiliki kekebalan tubuh lebih tinggi. Keadaan itu juga disebabkan karena anak itu tidak diimunisasi atau imunisasinya tidak lengkap.
Menkes meminta kepada para orang tua untuk memenuhi hak anak untuk sehat dengan melakukan pencegahan terserang penyakit.
Menyikapi ada kelompok masyarakat yang menolak imunisasi karena meragukan kesucian bahan dasar vaksin yang akan dimasukkan ke dalam tubuh, KH Ma`ruf Amin Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia mengatakan, MUI memang belum pernah menerbitkan sertifikasi halal untuk vaksin difteri.
Dalam kajian MUI pada dasarnya hukum imunisasi adalah boleh (mubah) sebagai bentuk upaya mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Namun vaksin yang digunakan harus halal dan suci.
Kalau belum ada vaksin halal dan dalam kondisi darurat mengancam jiwa maka diperbolehkan untuk digunakan.
“Setelah ditemukan vaksin yang halal maka pemerintah wajib menggunakan vaksin yang halal,” kata KH Makruf.
Kondisi darurat yang dimaksud di sini yakni kondisi keterpaksaan apabila tidak dilakukan tindakan imunisasi dapat mengancam jiwa manusia atau dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.
“Ketentuan tersebut di atas harus dipastikan bahwa memang benar-benar belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci dengan didukung keterangan tenaga ahli yang kompeten dan dapat dipercaya,” kata Ketua MUI. (jos/dwi/ipg)