Persidangan Dahlan Iskan, terdakwa pelepasan aset tanah bangunan di Kediri dan Tulungagung milik PT Panca Wira Usaha (PWU) kembali digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (18/4/2017).
Mantan Menteri BUMN tersebut menyampaikan duplik pribadinya setelah penasehat hukumnya juga menyampaikan duplik (tanggapan replik jaksa). Berikut cuplikan duplik pribadi yang disampaikan Dahlan Iskan.
“Bapak-bapak majelis hakim yang mulia. Jalannya perkara ini, mungkin seperti rujak cingur untuk saudara Wisnu Wardhana tapi seperti rujak sentul untuk saya: kami ngalor jaksa ngidul.
Karena tidak ada yang baru dari replik bapak jaksa dan hampir tidak ada sanggahan sama sekali atas pledoi kami maka duplik ini saya manfaatkan untuk mengungkapkan rasa syukur saya kepada Allah SWT bahwa:
Selama sidang saya bisa melewati masa kritikal saya sehingga lolos dari serangan penyakit lupus yang hampir saja mengenai saya. Saya berterima kasih atas izin berobat yang diberikan kepada saya.
Semula saya masih berharap hasil diagnosa tim dokter Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya yang mengatakan bahwa saya diambang terserang penyakit lupus itu keliru. Ternyata hasil pemeriksaan di RS Di Yi Zhong Xin Yi Yuan, Tianjin, sama. Alhamdulillah langsung ditangani.
Sayang waktu berobat hanya satu minggu sehingga tidak mungkin mengatasi ancaman penyakit tersebut secara tuntas. Serangan lupus tersebut datang akibat terganggunya keseimbangan imunitas di tubuh saya. Alhamdulillah bahwa izin berobat tersebut telah membuat masa kritikal saya itu lewat.
Memang ancaman penyakit lupus masih terus mengintai saya setiap saat. Ini karena obat yang saya minum setiap hari memang berdampak menurunkan sistem imunitas tubuh saya.
Namun saya tidak mungkin tidak minum obat tersebut karena hati yang terpasang di tubuh saya sejak 10 tahun yang lalu itu tetap dianggap benda asing oleh sistem tubuh saya yang asli.
Seperti diketahui, 14 tahun yang lalu saya didiagnosa terkena sirhosis dan kanker hati. Selama dua tahun (2003-2005) saya harus mondar-mandir Surabaya-Singapura untuk mencoba segala macam upaya.
Upaya yang darurat adalah bagaimana mengatasi munculnya banyak gelembung darah di sepanjang saluran pencernaan saya agar tidak muntah darah lagi. Juga untuk mengatasi bengkaknya tubuh saya. Susu saya kian montok sehingga mirip perempuan. Kaki saya juga membesar sehingga tiap tiga bulan harus ganti ukuran sepatu.
Semua itu saya jalani sambil terus bekerja keras untuk perusahaan-perusahaan saya dan untuk membenahi PT PWU. Tentu banyak dokumen yang mau tidak mau tetap harus saya tandatangani meski sering kali harus menunggu kepulangan saya dari luar negeri.
Sampai saat itu saya masih bisa merahasiakan sakit saya. Saya baru tidak bisa lagi merasa sehat setelah harus menjalani kemoterapi di Singapura yang mengakibatkan kondisi tubuh saya menurun drastis.
Namun karena kemo tersebut tidak berhasil pada tahun 2005, saya harus lebih banyak tinggal di RRT mencoba pengobatan alternatif di Kota Yantai, Provinsi Shandong. Juga di Kota Harbin Provinsi Heilongjiang, dekat Rusia.
Ternyata juga gagal. Kanker-kanker hati saya terus membesar. Saya kemudian menjalani pengobatan modern lagi. Tiga buah kanker yang sudah besar di dalam hati saya itu dibakar. Agar mati.
Yang kecil-kecil dibiarkan dulu. Sebulan kemudian ternyata hidup lagi. Dibakar lagi. Dua bulan kemudian hidup lagi. Sementara itu limpa saya juga terus membesar yang mendekati pecah. Dokter memutuskan memotong limpa saya sepertiganya. Operasi pemotongan limpa ini sangat kritis. Dokter Singapura sebenarnya melarang pemotongan itu mengingat resikonya fatal.
Dokter Singapura memilih membuang saja limpa saya. Saya harus mondar-mandir RRC-Singapura untuk membuat keputusan apakah limpa saya dipotong atau dibuang. Akhirnya saya memutuskan dipotong saja. Di sebuah rumah sakit tradisional di RRC.
Semua itu belum menyentuh inti persoalan, sebelum kanker hatinya dituntaskan. Limpa yang sudah dipotong pun membesar lagi. Kanker yang sudah dibakar hidup lagi.
Akhirnya saya jalani upaya sapu jagad: ganti hati. Belum tentu berhasil tapi tidak ada pilihan lain. Berhasil pun ada syaratnya: saya harus minum obat penurun imunitas setiap hari. Seumur hidup.
Resiko berikutnya adalah saya mudah terkena penyakit. Atau tertular penyakit. Atau terkena lupus seperti yang hampir terjadi beberapa minggu lalu itu.
Kini, setiap kali saya terkena sariawan yang bersamaan dengan munculnya bintik-bintik merah di wajah saya atau ada gumpalan ketombe di dalam rambut saya, saya harus ekstra waspada.
Alhamdulillah Yang Mulia, di tengah tekanan bertubi-tubi ini saya bisa melewati masa-masa kritikal itu. Seberat apa pun perjalanan ini tidak lagi saya rasakan berat karena saya sudah merasakan yang jauh lebih berat dari semua ini.
Lebih Alhamdulillah lagi dari persidangan ini terbukti tidak ada fakta yang mengatakan saya menikmati uang, atau menerima aliran uang atau menerima sesuatu.
Kepada saudara Sam Santoso yang mengakibatkan saya jadi terdakwa ini saya tetap mendoakan agar cepat sembuh, kian kaya-raya dan berumur panjang.
Kepada jaksa yang masih muda-muda dan ganteng-ganteng ini saya doakan kariernya lancar, pangkatnya terus naik dan jabatannya meningkat setelah selesainya perkara ini.
Yang Mulia. Kapal layar keadilan harus terus diarungkan. Alhamdulillah, ya Allah layarku bisa berkembang. Alhamdulillah ya Allah tiba-tiba badai menerpa dan layarku tetap berkembang.
Alhamdulillah ya Allah lautku tenang. Alhamdulillah, ya Allah tiba-tiba datang gelombang dan layarku tetap berkembang. Alhamdulillah, ya Allah langit terang penuh bintang.
Alhamdulillah, ya Allah tiba-tiba mendung dan badai menyapunya namun arah layarku tidak berubah. Alhamdulillah lautku pasang. Alhamdulillah lautku surut.
Alhamdulillah lautku tenang. Alhamdulillah lautku ribut. Alhamdulillah lautku terang. Alhamdulillah lautku berkabut. Alhamdulillah ada laut,” .
Sementara, Trimo Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menilai, apa yang disampaikan terdakwa tidak ada hubungannya dengan perkara. Sebab, secara yuridis, apa yang dikatakan Dahlan Iskan itu tidaklah masuk dalam perkara.
“Apa yang disampaikan terdakwa itu hanya curahan hati atau ungkapan. Iya kita sebagai jaksa menghargai. Bolehlah, orang itu berpantun, itu hak seorang terdakwa. Nanti, biar hakim yang menilai, apa yang dikatakan terdakwa hari ini,” kata Trimo, kepada suarasurabaya.net, Selasa (18/4/2017).(bry/iss/ipg)