Jumat, 22 November 2024
Di Balik Suara Lantang Bung Tomo

Bung Tomo Merasa Setelah Merdeka, Indonesia Ngono-Ngono Ae

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Bung Tomo. Foto : Dok Keluarga

Sutomo yang biasa dikenal Bung Tomo, pemilik suara lantang pengobar semangat melalui siaran radio di masa revolusi 10 November 1945 di Surabaya, pernah mendapat julukan “Jenderal Kancil” dari Soekarno, Presiden Pertama Indonesia.

Bung Karno, sebagaimana dikisahkan oleh Sulistina Soetomo dalam buku memoarnya Bung Tomo Suamiku (2008), memberi julukan itu karena kecerdikan Bung Tomo.

Dalam beberapa kesempatan Bung Tomo diajak Bung Karno mengunjungi beberapa daerah di Indonesia untuk berpidato. Saat itu, belum banyak orang daerah memahami Bahasa Indonesia.

Sulistina dalam bukunya mengatakan, Bung Tomo lah yang meminta beberapa orang lokal menerjemahkan pidato Bung Karno. Senanglah rakyat karena mengerti pidato presidennya.

Di balik suara lantang Bung Tomo di setiap siaran radio yang mengobarkan semangat juang rakyat, tak banyak yang tahu ada perasaan bersalah mendalam yang dia pendam.

Pascaperang 10 November 1945, di masa kabinet Burhanuddin Harahap, Bung Tomo pernah menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim periode 1955-1956.

Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 dari Partai Rakyat Indonesia (PRI), yang dikenal sangat kritis dan sering melontarkan kata-kata pedas, bahkan terhadap Bung Karno.

Dia bahkan sempat menggugat Pemerintahan Sukarno ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960 atas kebijakan Pemerintah Soekarno yang telah membubarkan DPR.

Menurut Bung Tomo, pembubaran DPR itu mencederai demokrasi dan kedaulatan rakyat karena membubarkan hasil pemilu yang sah. Sayang, gugatan itu ditolak.

Sempat menghilang di panggung politik, namanya muncul lagi pada 1977 di masa Orde Baru. Bung Tomo waktu itu disebut-sebut akan menjadi calon anggota DPR dari Partai Golkar pimpinan Amir Moertono.

Tapi gaung pencalonan ini lambat laun lenyap begitu saja. Malah pada tahun berikutnya, tepatnya mulai 11 April 1978, Bung Tomo ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Nirbaya, Pondok Gede selama setahun.

Dia ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan karena tuduhan bertindak subversif. Gara-garanya, Bung Tomo di masa itu sering menyelipkan kritik soal pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di pidatonya.

“Kata teman-temannya, selama di Penjara Bapak suka menyendiri. Pas pengibaran bendera merah putih diiringi lagu Indonesia Raya, bapak sering terlihat mbrebes mili (mata berkaca-kaca,red),” kata Bambang Sulistomo, putra kedua Bung Tomo kepada suarasurabaya.net, Kamis (9/11/2017).

Bambang lantas mengingat, bapaknya sering menceritakan masa revolusi kepada anak-anaknya. Bagaimana dia mengobarkan semangat puluhan ribu pejuang di Surabaya untuk terjun sampai gugur di medan perang.

“Setiap cerita, Bapak selalu kelihatan gemetaran. Bapak bilang, beliau merasa berdosa mengajak puluhan ribu arek-arek Suroboyo gugur di medan perang, tapi setelah itu Indonesia ngono-ngono ae (begitu-begitu saja,red),” ujarnya.

Rasa bersalah itulah, kata Bambang, yang membuat sikap Bung Tomo selalu kritis dan keras terhadap semua bentuk kebijakan pemerintah, baik di masa kepemimpinan Bung Karno maupun Soeharto, yang menurutnya menyimpang dari kedaulatan rakyat.

“Sepertinya, sampai akhir hayatnya rasa bersalah ini terus dibawa oleh Bapak, karena kecintaannya kepada tanah air,” ujar Bambang.(den/rst)

Teks Foto:
– Bung Tomo Pahlawan Nasional Indonesia.
Foto: Dok. Sulistina Sutomo

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs