Didik Farkhan Alisyahdi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya saat ini tengah mengikuti The 22ND Annual Conference And General Meeting Of The International Association Of Presecutors di Beijing, Tiongkok, mulai 11-15 September 2017. Di sela acara dia melakukan riset terkait kebijakan tilang berbasis CCTV di Beijing. Berikut ini artikelnya yang sempat dia tulis dan dikirimkan ke redaksi suarasurabaya.net :
Di sela-sela acara konferensi para Jaksa se-dunia itu saya sempatkan untuk “berguru” tilang CCTV di negeri Panda. Saya ingin membawa “oleh-oleh” pengetahuan sistem tilang CCTV dari Beijing. Sekedar untuk pembanding penerapan tilang CCTV di Surabaya yang saat ini sedang diujicoba.
Untuk berburu informasi Tilang CCTV itu, saya curi-curi waktu agar bisa keliling di beberapa ruas jalan di Beijing. Ditemani guide seorang mahasiswi asal Indonesia yang kuliah University Of International Business And Economics (UIBE) bernama Agris dan seorang Supir mobil sewaan bernama Mr. Bai saya mencari “sisik melik” tilang CCTV versi jalanan.
Pengamatan saya hampir seluruh ruas jalan di Beijing saat ini sudah terpasang CCTV canggih. Bentuk CCTV di Beijing hampir sama yang dipasang di Surabaya. Agak besar warna silver. Di setiap tiang khusus CCTV ada tiga kamera.
Kemudian hampir di setiap traffic light saya lirik hampir semuanya terpasang CCTV. Lalu di jalan tol dalam kota juga di setiap jarak tertentu juga berdiri tiang dan terpasang kamera “pengintai” itu.
Saya tidak menghitung apa setiap satu KM atau lebih jaraknya. Saya coba tanya Mr. Bai (dibaca Pai, artinya putih) juga geleng-geleng ditanya jaraknya. Hanya saja dia selalu menunjukkan titik titik dimana terpasang CCTV. Dia menjelaskan karena ada CCTV itu, Polisi lalu lintas di Beijing jarang berkeliaran di jalan-jalan.
Benar saja, selama saya “pusing-pusing” di kota hanya sesekali melihat Polantas yang berjaga di jalan. Saya melihat saat balik “pulang” di jalan dekat North Garden Hotel tempat saya menginap. Kebetulan saat itu sang Polantas sedang menilang sebuah mobil MPV yang salah parkir di trotoar. Saat penilangan berlangsung, saya turun mendekat.
Analisa saya karena di atas trotoar tidak terpantau CCTV, maka si Polantas itu menilang manual. Ditilang dengan blangko tilang yang ditulis manual. Sekilas mirip dengan blangko tilang di Indonesia. Jadi rupanya di Beijing masih ada juga tilang konvensional. Sama seperti di Surabaya, ada tilang konvensional dan tilang CCTV. Saya mencoba lebih dekat lagi. Ternyata sang supir yang ditilang juga tampak nawar-nawar supaya tidak ditilang. Saya tidak paham apa yang dibicarakan. Kata Agris sang supir mencoba nego. Namun Polantas itu menolak.
“Saat ini Polantas di Beijing susah disuap. Mereka selalu menolak. Beda dengan dulu masih bisa nego,” kata Agris yang sudah empat tahun tinggal di Beijing.
Kembali ke cerita tilang CCTV, kata Bai, di Beijing disamping bisa mengindentifikasi nopol yang melanggar marka, lampu traffic juga bisa menghitung kecepatan kendaraan.
“Jadi Mobil yang melanggar kecepatan pasti ketahuan karena dihitung secara otomatis dari CCTV satu ke CCTV berikutnya. Pelanggaran dapat dihitung langsung berdasarkan jarak dan waktu tempuh,” jelas Bai.
Potensi pelanggaran lain yang tertangkap CCTV di Beijing adalah nopol genap dan ganjil. Bila ada pelanggaran yang “tertangkap” CCTV langsung tagihan dikirim ke alamat pemilik kendaraan yang terdaftar. Soal siapa yang mengendarai, itu urusan pemilik kendaraan.
“Denda pelanggaran nopol genap ganjil cukup tinggi. Per jam melanggar dikenakan denda RMB 1.000 (Rp 2 juta). Bahkan kalau kedapatan sering melanggar nopolnya itu akan dicabut,” katanya.
Di Beijing, orang akan sangat rugi kalau nopol mobil dicabut. Maklum meski seseorang bisa beli mobil, untuk mendapatkan nopol harus daftar antri bertahun-tahun. Tidak seperti di Indonesia, asal bisa beli mobil langsung dapat nopol.
Tentang tagihan denda tilang, dari penjelasan Mr. Bai tersirat ada tagihan langsung. Kalau tetap belum bayar akan ditagih “totalan” saat bayar pajak kendaraan tiap satu tahun.
Karena padatnya acara Konferensi, saya belum sempat wawancara dengan polantas Beijing. Karena memang susah menemui di jalanan. Maklum tidak banyak jumlahnya yang bertugas di jalanan. Perannya sudah digantikan CCTV.
Diakhir perburuan tilang CCTV saya ditanya Agris, sang mahasiswi yang asli Jambi itu. Kenapa Bapak terus mengamati tilang CCTV. Begitu saya katakan kalau di Surabaya lagi ujicoba dia kaget. “Hebat sekali kota Surabaya,” ujarnya sambil tanya apakah Jakarta sudah? Saya jawab belum.
Terkait aturan denda tilang melekat pada pemilik kendaraan, di Indonesia belum ada aturannya. Masih butuh mengubah regulasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tentunya prosesnya harus di DPR. (bid/ipg)
Teks Foto:
1. Didik Farkhan Kepala Kejaksaan Negeri Surabaya.
2. CCTV yang terpasang di traffic light di Beijing, Tiongkok.
Foto: Didik Farkhan untuk suarasurabaya.net